5 menit saja!

in Indonesia3 years ago

WhatsApp Image 2021-04-12 at 23.30.31.jpeg

“Sebelum kita tengelam dalam percakapan yang dalam, aku punya satu permintaan!”

“Apa?” tanyaku.

“Kau jangan coba-coba membunuh percakapan, lagi, seperti tahun-tahun yang lalu, hanya karena mengangkat telpon! Lalu meninggalkanku begitu saja.”

Aku tertawa, “itu mudah!”

Ia menatapku tajam sembari berkata, “lebih baik kau matikan ponselmu!”

“Ayolah, itu terlalu kenak-kanakan! Lagi pula ini hari libur.”

“Pekerjaan yang kau jalani memang ada hari libur.” Tiba-tiba, wajahnya sinis menatapku, tersenyum begitu saja, “hmm jangan-jangan kau sudah punya pacar?”

“Tidak, bukan karena itu,” aku tertawa lemas, “lebih baik kau hidupkan jiwaku yang mati, ketimbang menyuruhku mematikan benda mati.”

Ia tersenyum tipis, “kau masih puitis seperti dulu.”

Ia tidak berkata lagi, hanya ketawa kecil. Kami diam sejenak, ia memainkan ponselnya. Aku sudah tiba di kedai kopi ini lebih awal darinya dan ia selalu telat. Kami suka duduk di sini, jika ingin bertemu. Dan hampir selalu di meja yang sama. Ia masih memainkan ponselnya. Sepertinya, mencari-cari topik pembicaraan yang menarik. Tapi, kukira Fira tidak perlu mencarinya. Sudah dua tahun kami tidak bertemu, sejak ia menikah aku memang malas untuk bertemu. Semenjak, aku lari dari kehidupan yang bijak dan menjadi propaganda yang dibayar pemerintah, ia jadi sering mengabariku, sekedar menanyakan kabar.

Fira, wanita yang cerdas dan suka dengan buku dan film. Ia punya lesung pipi yang sangat dalam bila ia tersenyum. Dan yang paling kubenci darinya adalah rasa penasaran. Seandainya itu tak ada, mungkin aku akan betah lama-lama duduk denganya. Aku masih mencintainya dan ia kukira masih mencintaiku. Pada satu tahun, ketika ia sudah punya anak satu, aku iseng menanyakan, apakah ia masih mencintaiku? Apakah itu alasannya ingin selalu bertemu dengaku? Dengan tatapan dalam ia menjawab, “setiap orang yang kutemui punya kisah menarik, dan aku tidak akan pernah berhenti mencintai mereka. Dan, kau salah satunya,” ia menatap ke langit-langit, lalu tertawa, “Kurasa kau satu-satunya!” Dan di saat itu pula aku mengajaknya menikah. Raut mukanya berubah sedih, ia bilang, aku hanya merasa kesepian. Tapi, ia salah, aku hanya menyesal tidak menikahinya ketika ia mengajakku menikah dulu. Saat itu, aku hanya belum siap dan tidak ingin punya anak. Ia sedih saat aku utarakan keegoisan itu dan kami putus.

Pelayan datang membawa menu pesanan. Perempuan cantik yang kucintai ini memesan jus jeruk tanpa gula, seperti pertemuan-pertemuan yang lalu, dan aku, seperti kebanyakan laki-laki di kota ini, pesan segelas kopi pancung. Setelah pelayan itu pergi, Fira Kembali melihat layar ponselnya. Lututku lemas, tanpa kusadari keringat kecil keluar di dahiku. Jika, pesanan kami datang, maka sudah sangat dekat aku dengan pertanyaan-pertanyaan Fira. Kata pembunuh di awal tadi, bisa kutebak arah pembicaraan ini.

Seandainya, aku bisa mengatur percakapan hari ini, aku ingin Fira mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan pegundang tawa saja. Tapi, Fira bukanlah kucing yang penurut, ia punya kehendaknya sendiri. Ia bisa berbelok tiba-tiba dan membikin aku lemas dan ketakutan untuk menjawabnya.

“Kamu masih tidak mau lewat jalan pintas?” tanyanya. Aku menghela napas, itu pertanyaan sudah lama sekali tidak keluar dari mulutnya. “Lagian, menurutku, setelah bertahun-tahun, itu aneh!” lanjutnya, pipinya yang tembem itu naik, ia mengeleng-geleng kepalanya, lalu merebahkan badannya ke sandaran kursi.

“Iya, aku masih selalu begitu. Jalan pintas akan membuat umurku pendek.”

“Tapi,” ia bangkit dan kini mata kami bertemu, ia menatapku dalam, “di sana banyak kenyataan-kenyataan baru. Kau bisa menghemat waktu dan kau bisa melakukan perkerjaan yang lain, sayang!”

“Sayang? Hahaha.”

“Mengapa? Tidak boleh?”

“Silahkan,” kataku dengan salah tingkah. “Persoalan jalan, aku tidak bisa menjelaskannya. Itu alamiah terjadi pada lelaki sepi sepertiku.”

Kepalanya mengangguk pelan. Lalu membalas lagi, “kemacetan memang menghibur untuk lelaki sepertimu.”
Fira mengangkat gelas berisi jus jeruk kehadapannya. Memainkan pipet dan lalu mencicipinya. Matanya tiba-tiba terjepit, “asam!” katanya. Kami tertawa lepas. Sampai-sampai orang di meja sebelah melirik ke kami karena terkejut. Setelah tawa itu renyap, aku sadar, inilah caranya untuk perlahan-lahan ke pertanyaan yang sebenarnya, memberiku kehangatan, lalu ia bisa mengendalikanku. Bertahun-tahun, setelah pernikahannya, tak pernah kutemui pertemuan seperti ini: wajahnya penuh tawa dan senyum.

“Kau belum mencicipi kopimu!” ia mengarahkan matanya ke gelas kopi yang masih diujung meja. Aku menariknya kehadapanku, mengaduknya dan kuambil sedikit air hitam itu dengan sendok kecil berwarna silver itu. dan sebelum airnya sampai ke mulutku, Fira mengangkat suara.

“Pahit?” tanyanya.

Handphoeku berbunyi. Aku mengangkatnya dan Fira menatapku. Wajahku tiba-tiba berubah muram. Fira mengambil tasnya lalu meninggalkanku. Seperti dulu, ia bisa membaca pikiranku. Ia meninggalkanku sebelum aku pamit duluan. Aku hanya bisa memandang punggungnya perlahan-lahan jauh meninggalkanku. Sial! kami hanya bertemu 5 menit.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.11
JST 0.030
BTC 67773.95
ETH 3733.37
USDT 1.00
SBD 3.69