Series #Mosque-23: Baiturrahim Mosque, From the 17th Century to the Present

After delayed the publication of the 23rd edition of the mosque's mosque, this afternoon while waiting for the breaking of the fast, let's take a walk to the Ulee Lheue area, to see the Baiturrahim Mosque.

Baiturrahim Ulee Lheue Mosque is one of the historic mosques in Banda Aceh city besides Baiturrahman Great Mosque. Just like the Baiturrahman Mosque, the Baiturrahim Mosque has been a silent witness of the history of Aceh since the time of the sultanate, Dutch colonialism, Japan, until the era of independence with all the bitter sweetness of history.

Baiturrahim Ulee Lheue Mosque, Banda Aceh. One of the mosques survived the 2004 tsunami, despite its location in the coastal area. Surely this is a rare event and out of the ordinary, if you see the tsunami that has meluluhlantakan all the buildings around the mosque. This mosque is only made of brick material without bone concrete.

The incident that left the building at the location where the initial rising of sea water during the December 26, 2004 Tsunami disaster, made Baiturrahim Mosque became the object of mass media coverage both in and outside the country.

Baiturrahim Mosque stands in the tourist area on the coast of Ulee Lheue Mirror. This beach is a very beautiful beach area full of history. Where, when the Dutch made their first expedition to Aceh in 1873 through the Pantai Cermin (Pante Ceureumen), for the smooth operation of the military in Aceh, the Dutch built a pier at Ulee Lheue as a gateway to Aceh in 1874 and completed construction in 1875. To connect Ulee Lheue to Banda Aceh, the Dutch built a railroad with its station around the front of the Baiturrahman Grand Mosque now.

Baiturrahim Ulee Lheue Mosque, has been established since the sultanate of Aceh in the 17th century. That time the mosque was named Jami 'Ulee Lheu Mosque (Jami' Ole Le mosque) built on the land of wakaf big family Teungku Hamzah. In 1873 when the Baiturrahman Grand Mosque of Banda Aceh was burned by the Dutch, all mosque worshipers were forced to perform Friday prayers at the Jami Ulee Lheue Mosque and from that time on became Baiturrahim Mosque.

In 1922 during the colonial rule of the Dutch East Indies Baiturrahim mosque was built with permanent material with European architectural style. Arabic Jawi spelling calligraphy. This mosque does not use iron or bone material but only brick and cement. The mosque was built independently by the Meuraxa community, at that time led by Teuku Teungoh Meuraxa circa 1923/1926 AD.

At the end of 1923, this mosque was completed without having the dome as in general, but there is only a top of the mosque in the form of a square. This mosque can accommodate only about 400-500 people. It is said that word of mouth, the type of wood for the ceiling and the outer wall on the second floor of the minaret of this mosque, was imported from various regions in Aceh such as Meulaboh West Aceh, Singkil, and Tapaktuan Aceh Selatan.

In 1930, the front porch was forced to change because of its shape resembling a church building. In 1981, the Baiturrahim mosque received assistance from the Kingdom of Saudi Arabia, so that the left and right expansion was done to accommodate up to 1,500 people.

So, since the establishment until now this mosque has undergone several renovations. Initially the mosque was built with a construction completely made of wood, with a simple shape and it is located next to the location of the mosque now. Because it is made of wood, mosque building did not last long due to weathered so that should be torn down.

In 1936, the mosque was once severely damaged, due to the massive earthquake that struck Aceh. Then, in 1983 Banda Aceh was hit by a devastating earthquake and undermined the dome of the Baiturrahim mosque. After that people rebuild the mosque but no longer install the dome, just an ordinary roof.

Ten years later, in 1993, a massive renovation of the mosque building led by Muhammad Ridwan Daud (Rida), who was a figure of Ulee Lheue and his house close to the mosque. This renovation, leaving only the original building on the front pascagempa in 1983. The remaining 60 percent is a new building that is connected to the original building. Until now the original building of the mosque still looks solid on the front of the entire renovation process was completed in 1997.

Baiturrahim Mosque after experiencing a series of restoration and addition of supporting facilities including the building of its single tower which is a donation from Sultan Brunai Darussalam.

On December 26, 2004, an earthquake that followed the tsunami leveled the entire building around the mosque and the only remaining building and survived was the Baiturrahim Mosque. The condition of the mosque made of bricks only damaged about twenty percent. such as the rupture of window glass and the collapse of the wall due to being hit by a car carrying the current.

During the tsunami, there were nine survivors in the mosque. In fact, there are babies in the arms of their parents. They are able to rise up to the dome. They were the direct view of the tsunami at that time. Now the mosque with a white bandage plus interesting architecture and green windows on the shore Ulee Lheue is more beautiful, let alone the presence of a small tower beside it.

Many tourists who took time to visit here even just to capture the photo, recorded Sultan Bolkiah from Brunei Darussalam, Bill Clinton who is also former president of the United States and president SBY himself has visited here, Vice President Jusuf Kalla. (This paper is summarized from the Book: "Seven Reasons why to go to Banda Aceh")

Lamsayeuen, June 8, 2018
@catataniranda

Serial #Masjid-23: Masjid Baiturrahim, dari abad 17 hingga Saat ini

Setelah sempat tertunda pempublikasian serial masjid edisi-22 tadi padi, sore ini sambil menunggu jelang berbuka puasa, ayo kita jalan-jalan ke kawasan Ulee Lheue, guna melihat Masjid Baiturrahim.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid bersejarah di kota Banda Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Sama seperti Masjid Baiturrahman, Masjid Baiturrahim pun telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh sejak masa kesultanan, penjajahan Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan dengan segala pahit manisnya sejarah.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh. Salah satu masjid yang selamat dari terjangan tsunami tahun 2004 lalu, meski lokasinya berada di kawasan pantai. Tentunya ini merupakan sebuah peristiwa langka dan diluar akal sehat, jika melihat bencana tsunami tersebut telah meluluhlantakan semua bangunan disekitar masjid tersebut. Masjid ini hanya terbuat dengan bahan batu bata tanpa tulang beton.

Peristiwa yang menyisakan bangunan di lokasi tempat awal naiknya air laut saat bencara Tsunami 26 Desember 2004 ini, membuat Masjid Baiturrahim menjadi objek liputan media massa baik dalam maupun luar negeri.

Masjid Baiturrahim berdiri di kawasan wisata di pantai Cermin Ulee Lheue. Pantai ini merupakan, kawasan pantai yang sangat indah yang penuh sejarah. Dimana, ketika Belanda melakukan ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873 dilakukan melalui Pantai Cermin (Pante Ceureumen) ini, untuk kelancaran operasi militer di Aceh, Belanda membangun dermaga di Ulee Lheue sebagai pintu gerbang ke Aceh pada tahun 1874 dan selesai pembangunannya pada tahun 1875. Untuk menghubungkan Ulee Lheue ke Banda Aceh, Belanda membangun jalan kereta api dengan stasiunnya di sekitar depan Mesjid Raya Baiturrahman sekarang.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, sudah berdiri sejak masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu (masjid Jami’ Ole Le) dibangun diatas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Masjid Jami Ulee Lheue dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.

Pada 1922 dimasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda masjid Baiturrahim dibangun dengan material permanen dengan gaya arsitektur Eropa. berkaligrafi ejaan Arab Jawi. Masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja. Masjid ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa, pada waktu itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa sekitar tahun 1923/1926 Masehi.

Pada akhir tahun 1923, masjid ini selesai dibangun tanpa memiliki kubah seperti pada umumnya, melainkan hanya ada sebuah puncak masjid yang berbentuk persegi empat. Masjid ini pun hanya bisa menampung jamaah sekitar 400-500 orang. Konon cerita dari mulut ke mulut, jenis kayu untuk plafon dan dinding terluar di lantai dua menara mesjid ini, didatangkan dari berbagai daerah di Aceh seperti Meulaboh Aceh Barat, Singkil, dan Tapaktuan Aceh Selatan.

Pada tahun 1930, beranda depan terpaksa diubah karena bentuknya menyerupai bangunan gereja. Di tahun 1981, masjid Baiturrahim mendapat bantuan dari Kerajaan Arab Saudi, sehingga dilakukanlah perluasan ke samping kiri dan kanan untuk dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.

Jadi, sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan konstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan.

Pada tahun 1936, masjid ini pernah mengalami rusak parah, akibat gempa besar yang melanda Aceh. Kemudian, pada tahun 1983 Banda Aceh diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid Baiturrahim. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1993 dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid yang dipimpin oleh Muhammad Ridwan Daud (Rida), yang merupakan seorang tokoh dari Ulee Lheue dan rumahnya dekat dengan masjid tersebut. Renovansi ini, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan pascagempa tahun 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru yang disambungkan ke bangunan asli. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya keseluruhan proses renovasi itu selesai tahun 1997.

Masjid Baiturrahim setelah mengalami serangkaian restorasi dan penambahan fasilitas pendukung termasuk bangunan menara tunggalnya yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunai Darussalam.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim. Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja. seperti pecahnya kaca jendela serta robohnya dinding dikarena dihantam oleh mobil yang terbawa arus.

Pada saat tsunami, di masjid ini ada sembilan orang yang selamat. Bahkan, ada bayi dalam gendongan orangtuanya. Mereka mampu naik hingga ke kubahnya. Merekalah yang melihat langsung dahsyatnya tsunami pada saat itu. Kini masjid dengan balutan warna putih plus arsitektur menarik dan jendela hijau di bibir pantai Ulee Lheue ini semakin cantik, apalagi hadirnya sebuah menara kecil disampingnya.

Banyak wisatawan yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini walaupun sekedar mengabadikan foto, tercatat Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, Bill Clinton yang juga mantan presiden AS serta presiden SBY sendiri sudah berkunjung kesini, Wapres Jusuf Kalla.(Tulisan ini dirangkum dari Buku: “Tujuh Alasan mengapa harus ke Banda Aceh”)

Jam Dinding di Masjid Baiturahim Ulee Leuhe

Lamsayeuen, 8 Juni 2018
@catataniranda