Pesta Sastra Akhir Tahun, Banjarbaru dan Bintan

in #indonesia5 years ago


Ada dua festival sastra yang diadakan pada waktu bersamaan pada akhir November hingga awal Desember 2018. Kegiatan pertama diadakan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dengan nama Banjarbaru Rainy Days Literary Festival. Ini festival sastra kedua di kota yang berselahan dengan Kota Banjarmasin itu, laksana Jakarta dengan Depok. Pertama diadakan pada 2017.

Festival ini membuat Banjarbaru menjadi poros kebudayaan baru di Kalimantan Selatan. Selama ini, kota Banjarbaru kurang dikenal dalam para sastrawan, kecuali mereka yang tinggal di Kalimantan Selatan. Ketika mendengar kata "Kalimantan Selatan" orang-orang langsung terbayang nama ibu kotanya, yakni Banjarmasin. Di sana memang pernah diadakan sejumlah kegiatan sastra bertaraf internasional oleh pegiat dan penulis sastra setempat.

Nah, tiba-tiba Banjarbaru muncul dengan nama acara yang unik: memanfaatkan musim hujan untuk kegiatan sastra. Tentu saja ini pilihan yang sangat sadar. Tak heran, ketika pembukaan, mereka telah menyiapkan payung-payung aneka warna berlogo nama festival untuk melindungi peserta dari hujan, yang memang turun pada malam itu. "Setahu saya ini adalah festival kedua di Indonesia yang memanfaatkan hujan," ujar Radius Ardanias Hadariah, ketua panitia.

Di Bintan, saya menjadi narasumber seminar sastra. Narasumber lain adalah Joko Pinurbo, Faisal Oddang, Wacana Minda (Malaysia), Kang Myoung Sook (Korea Selatan). Adapun para pengisi acara ada Putu Fajar Arcana, Aan Mansyur, dan Sha Ine Febrianti. Makalah saya sebagai pengantar diskusi pada seminar tersebut, berjudul Masa Depan Sastra Koran, bisa dibaca dengan mengklik di sini.

Pada waktu bersamaan, perayaan sastra juga diadakan di Bintan, Kepulauan Riau. Nama acaranya adalah Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2018. Kegiatan itu persisnya diadakan pada 29 November hingga 2 Desember. Isinya, tentu saja mirip: baca puisi, seminar, wisata budaya, dan seterusnya. Untungnya peserta tidak bisa sama, karena tidak mungkin satu orang bisa menghadiri dua acara dalam waktu bersamaan.

Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2018 diinisiasi oleh sastrawan Rida K Liamsi, dan digerakkan oleh seniman/pegiat sastra setempat bersama Dewan Kesenian Tanjungpinang yang dipimpin oleh Husnizar Hood.

Tapi tidak bisa dielakkan, dua acara dalam waktu bersamaan, membuat "serba salah" alias dilema bagi sebagian pegiat sastra. Ini melanda mereka yang ingin menghadiri kedua acara tersebut. Seperti kita tahu, festival sastra bukan sekedar datang lalu baca puisi, ketemu kawan-kawan dan seterusnya, sekaligus waktu untuk menikmati kebudayaan daerah setempat dan wisata. Nah, dua acara tabrakan itu menyebabkan mereka harus memilih salah satunya.


Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar soal acara, karena sudah pernah saya tulis di Koran Tempo pada 7 Desember 2018. Silakan disimak saja berikut ini:

Pesta Sastra Musim Hujan

Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival dan Festival Sastra Internasional Gunung Bintan digelar bersamaan. Menggairahkan sastra, tapi perlu kurasi yang ketat.

MUSTAFA ISMAIL
[email protected]

Payung-payung dengan aneka warna satu per satu dibuka dan dikibarkan. Titik-titik hujan yang turun satu per satu mulai menjadi gerimis. Beberapa orang panitia kemudian membagikan payung berdiameter lebih dari satu meter kepada pengunjung acara pembukaan Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival di ruang terbuka di Minggu Raya, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jumat malam, 30 November lalu.

Hujan memang tidak bisa ditahan. Pembukaan festival itu pun tidak bisa ditunda. Para sastrawan, seniman, dan undangan lainnya serta sejumlah pejabat telah hadir. Ada Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani, Wakil Wali Kota Darmawan Jaya Setiawan, hingga Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Pesik. “Hujan dan puisi mendekatkan manusia, mempersatukan dalam kemanusiaan," kata Ketua Panitia Festival, Radius Ardanias Hadariah, dalam laporannya.

Rainy Day Literary Festival adalah kegiatan tahunan yang diadakan oleh Pemerintah Kota Banjarbaru lewat Perpustakaan dan Arsip Daerah. Festival kali ini, 30 November hingga 2 Desember 2018, adalah kegiatan kedua. Kegiatan pertama diadakan pada Desember 2017. Seperti namanya, Rainy Day, kegiatan ini memang diselenggarakan pada musim hujan. “Kita ingin masyarakat menikmati musim, apa pun itu, termasuk musim hujan,” ujar Radius dalam sebuah percakapan. Musim hujan bukan hambatan berkegiatan. “Hujan itu puitis.”

Kegiatan ini diikuti puluhan sastrawan dan pegiat sastra dari berbagai daerah di Indonesia, ditambah para siswa, mahasiswa, dan seniman setempat. Di antara peserta terdapat sejumlah nama, seperti Isbedy Stiawan Z.S., Wayan Jengki Sunarta, Binhad Nurohmat, Hans Gagas, Willy Ana, Micky Hidayat, Ibramsyah Barbari, dan Jamal T. Suryanata. Adapun pemateri dan pengisi acara, antara lain, Joko Pinurbo, Wacana Minda (Malaysia), Kang Myoung Sook (Korea Selatan), Putu Fajar Arcana, Aan Mansyur, dan Sha Ine Febrianti.

Namun tak ada penyair yang membaca puisi pada malam pembukaan itu, sebagaimana lazimnya festival sastra lain. Hanya ada satu pembacaan gurindam oleh seniman setempat. Setelah prosesi pembukaan dengan banyak sambutan dan pidato, panggung diisi musik hingga tengah malam. Sebagian peserta kongko di warung kopi taman kuliner Minggu Raya. Lalu, menjelang tengah malam, peserta bertolak ke Perpustakaan Daerah untuk mengikuti diskusi tengah malam. Diskusi itu membahas antologi puisi Ideologi Ibu dan Baju Koyak karya Irawan S. Wiraatmaja alias Mustari Irawan. Pembahasnya adalah Jamal T. Suryanata.

Kegiatan festival memang sangat padat. Esoknya, Sabtu, sekitar pukul lima pagi waktu setempat, panitia sudah riuh membangunkan peserta untuk mengikuti kegiatan tanam pohon bersama Wali Kota Banjarbaru. Beberapa acara diadakan secara paralel, seperti workshop musikalisasi puisi dengan pemateri Devie Matahari dan Dedy Matahari. Hari itu juga ada seminar sastra di Museum Lambung Mangkurat dengan aneka materi, mulai pukul sebelas siang hingga menjelang magrib. Malamnya, ada pentas sastra di Taman Hutan Kota Pinus Mentoas, Banjarbaru.

Hari terakhir, Minggu, juga padat. Sebagai pamungkas, pada Minggu siang hingga sore diadakan mangawah, yakni memasak bersama, lalu makan bersama. Namun, menurut Radius, itu bukan upacara penutupan. “Sebagaimana biasa Banjarbaru's Rainy Day Festival tidak pernah ditutup resmi, tidak ada closing ceremony, hanya farewell party berupa mangawah.”

Radius tak menampik soal padatnya kegiatan membuat ada ketidakpuasan dan ia mencoba memahaminya. “Dengan banyak jadwal paralel sangat mungkin ada salah paham dan beda persepsi.” Ia bertekad menyempurnakan festival pada tahun depan, termasuk mengundang lebih banyak sastrawan luar negeri, pengumpulan puisi lebih awal dan diterbitkan dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Selain itu, akan ada residensi bagi sastrawan terpilih di Kalimantan Selatan.

Tak hanya di Banjarbaru, dalam waktu yang bersamaan juga digelar pesta sastra di Bintan, Kepulauan Riau, mulai 29 November hingga 2 Desember. Bertajuk Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2018, kegiatan itu melibatkan puluhan sastrawan dari Indonesia dan negara tetangga. Mereka, antara lain, Sutardji Calzoum Bahri, Taufik Ikram Djamil, Ramon Damora, Kunni Masrohanti, Bambang Widiadmoko, Hasan Aspahani, dan Husnizar Hood.

Sebagaimana festival sastra lainnya, festival ini juga menerbitkan antologi puisi. Buku berjudul Jazirah, Jejak Hang Tuah dalam Puisi itu mengumpulkan puisi-puisi bertema “Hang Tuah” yang dikurasi Sutardji Calzoum Bachri, Rida K. Liamsi, dan Hasan Aspahani. “Sasaran festival itu membangun semangat kebersamaan para penyair serantau. Hang Tuah adalah tema yang chemistry di semua kawasan,” kata Rida.

Kegiatan didahului malam Anugerah Jembia Emas, lalu dilanjutkan dengan berbagai kegiatan, seperti seminar sastra, baca puisi, serta ziarah budaya. Tentu acara yang paling menarik adalah pesta puisi yang diadakan di sejumlah tempat, seperti di Kompleks Purna MTQ, kaki Gunung Bintan, dan Gedung Asiyah Sulaiman. Meski sekarang sedang musim hujan, tapi hujan tak banyak mewarnai kegiatan itu. “Hujan pas ziarah. Tapi cuma di jalan,” ujar seorang peserta, Pilo Poly.

Festival sastra di Banjarbaru dan Bintan menambah deretan festival sastra pada tahun ini. Sebelumnya, setidaknya ada sejumlah festival sastra, antara lain Kemah Sastra Nasional di Banyuwangi, Temu Penyair se-Asia Tenggara di Padangpanjang, Festival Sastra Bengkulu, dan Payakumbuh Literary Festival. “Banyaknya festival dapat menggairahkan kesusastraan Indonesia, terutama di kalangan anak-anak muda,” ujar penyair Isbedy Stiawan Z.S.

Ia mengatakan, dalam sejumlah festival, bisa ditemukan penulis sastra berbakat. Namun tidak tertutup kemungkinan pula, berpotensi menjadi arena kongko belaka. Bahkan ada penulis sastra yang tampaknya spesialis festival. “Di media cetak, karyanya tak terlacak, buku belum terlihat. Mereka hanya memburu event.” Karena itu, ia sepakat festival sastra perlu menerapkan kurasi ketat dalam menjaring peserta dengan kurator terpercaya. *

DEPOK, 10 Januari 2018
MI | IG: MOESISMAIL | @MUSISMAIL




Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/pesta-sastra-akhir-tahun-banjarbaru-dan-bintan/

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64303.16
ETH 3137.29
USDT 1.00
SBD 3.97