Petani, dan kapitalisme Desa

Hampir semua masyarakat desa tempat saya dilahirkan berprofesi sebagai petani. Sangat jarang ditemukan seorang pegawai negeri sipil disana. Sejak saya kecil hingga saat ini, sedang menuju usia 29 hanya satu orang saja yang berprofesi sebagai guru disebuah sekolah dasar, yang tercatat sebagai PNS. Selebihnya adalah petani.

Profesi sebagai petani jika memiliki beberapa petak sawah tentu akan cukup membahagiakan. Mengapa? Karena hasil yang diperoleh akan cukup atau sesuai dengan keringat yang dikeluarkan. Tetapi apa jadinya jika bertani hanya dengan menyewa sepetak tanah milik kapitalis desa.

Tentu selesai panen, hanya pemilik sawah yang akan menikmati hasil jerih payah petani itu. Sementara petani itu sendiri, setelah bayar ini itu, hanya tersisa cukup untuk bertahan hidup beberapa bulan saja. Mengapa demikian.

Lazimnya, di daerah saya, kondisi kehidupan petani telah memaksakan mereka untuk mengemis pada sistem yang dibuat oleh kapitalisme desa. Jika bersedia menggarap sawahnya, seluruh keperluan bertani harus di beli (jika tidak punya uang, boleh ngutang dulu) darinya. Termasuk pupuk, pestisida, dan sebagainya. Hingga ketika hasil panen tidak boleh dijual kepada orang lain.

Begitulah perihnya menjadi petani dibawah cengkraman kaum kapitalisme desa. Semua sudah tersistem seperti itu. Keadaan membuat para petani harus terpaksa bekerja padanya. Jika tidak, tidak ada pekerjaan lain yang dapat dikerjakan. Sementara tanah sekeliling desa adalah hampir 80% adalah milik kapitalisme desa itu.

Akibatnya, semua orang desa akan apatis kepada yang namanya pertanian. Tetapi mereka harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak turun kesawah maka bersiaplah untuk tidak makan. Maka wajar jika orang-orang kampung saya, menyuruh anak mereka untuk pergi merantau, cari ilmu diluar kota. Agar tidak ikut serta menjadi pijakan kaum kapitalisme desa.