ACEHNOLOGI (VOLUME II, BAB 20) ; STUDI RELIGI ACEH

in #indonesia6 years ago

Assalamualaikum,
Pada kesempatan kali ini saya menguraikan pembahasan yang dibahas pada bab ini, ulasan pertamanya adalah penyebutan istilah “agama” pada Islam yang memiliki dua makna yaitu jika disebut sebagai agama Islam dan berarti berkeyakinan Hindu dan Islam, dikarenakan istilah agama disini mempunyai arti yaitu berkeyakinan Hindu. Masyarakat pada umumnya masih keberatan untuk menghilangkan istilah agama dalam penyebutan Islam, namun jika diperjelas secara rinci maka masyarakat sedikit akan menerimanya.
Oleh karena itu dalam studi Acehnologi penulis lebih tertarik mengunakan istilah ”din” dalam penyebutan Islam ketimbang agama. Dikarenakan istilah “din” bersumber dari bahasa Arab. Dengan demikian membahas tentang Aceh sama seperti halnya kita mengkaji Islam, dikarenakan antara Aceh dan Islam tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Selanjutnya, istilah Islamologi bisa diartikan sebagai mempelajari tentang kajian Islam, namun yang uniknya di Aceh jika di kaitkan dengan istilah meureuno ataupun jak meureuno dan jak meununtut ilme pasti ditafsirkan oleh masyarakat bahwa orang tersebut hendak mempelajari tentang Islam. Oleh karena itu bisa kita pastikan bahwa Aceh ini sangat diidentik dengan keislamannya, dibuktikan dengan keberadaan dayah-dayah sepanjang garis pantai selatan, hingga ke pesisir timur, dan per kabupaten pasti ada yang namanya dayah, madrasah hingga perguruan tinggi Islam. Ini menyiratkan bahwa tameng Kosmologi Aceh adalah Islam yang diwujudkan dalam tradisi pembelajaran Islam.
Selain daripada itu, di Aceh jika terdapat budaya pendidikan yang baru masuk ke Aceh masih mendapatkan respon yang resisten, dibuktikan dengan ketika model pembelajaran bersifat sekolah atau madrasah. Dan dipengaruhi lagi dengan adanya anggapan bahwa jika anak-anak yang belajar di sekolah maka dianggap akan dipengaruhi dengan perangai penjajah, dengan demikian pembelajaran yang bersifat dayah dapat menjadikannya sebagai sistem pertahanan bagi rakyat Aceh. Karena itu jalur kajian Kosmologi di Aceh jika melalui jalur pembelajaran dayah maka akan mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. Hasilnya proses pembentukan Islamologi di dayah, kemudian dikembangkan dengan model pembelajaran bertingkat atau naik kelas, seperti hlnya tradisi pembelajaran di pulau Jawa.
Selanjutnya dibahas tentang bagaimana pemetaan aliran atau gerakan religi yang muncul di Aceh, hingga menajadikan kiblat pemikiran dan gerakan religi tidak lagi ke Aceh, tetapi ke pulau Jawa, seperti Yokyakarta, Bandung, dan Jakarta. Disini penulis menggambarkan bagaimana jika Islam tidak sampai ke Aceh.
Pertama, keyakinan terhadap Hindu dan Budha akan telestarikan sampai saat ini, dan menjadikan Aceh sebagai tempat kedatangan wisatawan seperti halnya Bali saat ini. Kedua, tidak akan muncul perang yang berkepanjangan selama ratusan tahun di Aceh, upaya Aceh disini sebagaimana kita ketahui ialah untuk mempertahankan laju penjajah dalam membawa pemahaman baru ke Aceh, dan pemahaman ini jukamenunjukkan jika tidak ada Aceh, maka di Indonesia akan diwarnai falsafah Hindu dan Budha dan terapannya ajaran-ajaran kristen. Ketiga, bisa dipastikan bahwa jika tidak ada Islam di Aceh maka Malaysia dan Indonesia tidak memiliki akar sejarah bangsa
Di Aceh sendiri dalam satu pemahaman saja yaitu pemahaman Islam terdapat perbedaan aliran, seperti dengan sebutan Ahl al-sunnah wa al-jamaah yang berbasiskan pada dayah, dan kelompok Wahabi yang disinyalir dengan alumni timur tengah yang membawa pemahaman dan ajaran sebagaimana yang ada di timur ataupun Arab Saudi. Dan yang terakhir yaitu Syiah merupakan yang meniru gaya keislaman pada Iran dan negara Timur Tengah Lainnya.
Dalam memahami persoalan keagamaan di Aceh pada era kekinian, ada beberapa hal yang dipertibangkan. Pertama, terjadi pemudaran perubahan kesadaran religi di dalam masyarakat Aceh, jika dahulu otoritas religi hanya dipegang oleh ulama, namun sekarang kontrol tersebut sudah mulai memudar. Kedua, adanya trend baru yang berupa seperti zikir bersama, mendatangkan da’i dari luar Aceh, shalat malam bersama, shalat subuh berjamaah oleh aparatur pemerintah hingga menimbulkan bau-bau politik didalamnya. Ketiga, timbul gejala ada alumni dayah yang melanjutkan penguruan tinggi Uin-Arraniry di Banda Aceh, seperti halnya penulis sendiri yang dulunya cenderung memperoleh metode pembelajaran dari menghapal hingga menjadikan pola non menghapal.
Dalam bab ini ada beberapa uraian yang perlu diingat, yaitu di Aceh masih menjadikan Islam sebagai pusat kendali bermasyarakat. Dan salah satu pengikat religiusitas di Aceh adanya masyarakat Islamologi, terakhir ialah untuk memahami dinamika aliran di Aceh harus ada pemahaman kajian yang tidak hanya di Aceh namun juga di luar Aceh.

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 61979.42
ETH 2916.97
USDT 1.00
SBD 3.63