8 Ball

in #indonesia6 years ago (edited)
8 Ball

Seperti permainan Billiard ‘mazhab’ 8 Ball, tiap kita memiliki 7 bola yang mewakili hari dalam seminggu, waktu. Kita, 2 sisi yang bertarung… atau mungkin lebih tepatnya membagi peran untuk mencari pemenang, siapapun yang kalah. Seorang dari kita mesti menerima ketika seluruh hari yang telah mengangkang pasrah di meja-tarung, mesti terkapar membujur. Juga, seorang dari kita yang menyandang peran sebagai jawara tak mesti jumawa sebab bersemat kata ‘menang’.

Tak soal apakah engkau atau aku memilih bola berpola strip atau solid, sebab beragam variabel hadir sebagai tantangan; daya bidik, daya hentak, pantulan, kemampuan memahami material meja dan material bola, penentuan sudut tembak dan keberadaan 6 pocket di semesta bentang meja.
Siapapun bisa jadi pemenang di antara kita, tak peduli pola bola ataupun giliran melakukan break. Mungkin engkau, Manis… mungkin juga aku. Kita berdua menempuh ‘mungkin’, sejak larik puisimu mempesonaku. Aku rebah dan sepakat untuk melakukan pertarungan ini. Kita mesti menikmati saat kehendakmu atau kehendakku yang menjadi juara. Kau tak mungkin menang tanpa aku mengalami cundang. Demikian pula sebaliknya. Selalu demikian kebalikannya, berbolak-balik menerpa kita.

Sungguh aku selalu mewakilkan kemenangan sebagai hadirnya kebenaran yang selalu suka-gembira kuterima. Riang hatiku saat menang, serupa dengan girang diri saat menjadi pecundang. Sebab, menang atau cundang bagiku berarti hadirnya kebenaran. Seperti takluknya aku pada larik puisimu. Sebab, meski kalah, selain kebenaran yang hadir, juga senyum berhias puas merenda engkau punya paras.

Terkadang kendali daya memukul bola menghadirkan penempatan yang baik bagi pukulanku atau hentakanmu selanjutnya. Sesekali, sodokan bolaku justru menjebak langkah berikut hingga tak memiliki ruang tembak, bahkan tiada ruang pantul untuk meneruskan maksud. Lantas, aku cuma mampu menembak ke arah sembarang dengan kesembronoan yang kerap memasukkan bola 8 sebelum waktunya.

Memasukkan bola 8 sebelum waktunya adalah bencana bagiku atau siapapun yang mengalaminya. Kekalahan menjadi kebenaran yang mesti kuterima.

Pada titik tersebut, kupahami perbedaan asasi antara 8 Ball dengan 9 Ball. Sebab, 9 Ball tak mengharamkan bola 9 masuk sebelum waktunya selama peristiwa itu berlangsung saat bola putih menyentuh bola yang sedang menjadi giliran sebelum masuknya bola 9. Kemenangan dalam 9 Ball bukanlah soal menuntaskan tugas secara runut, melainkan mempercepat hadirnya bola 9 ke dalam pocket, tentu saja dengan disclaimer syarat dan ketentuan berlaku.

Beda lain juga kutemukan dari nama; meski bernama 8 Ball, sesungguhnya bola yang ada di meja berjumlah 15, sementara dalam 9 Ball, jumlah bola sungguh 9 butir adanya. Juga soal warna hitam yang menjadi bencana saat masuk sebelum gilirannya, ia bisa bermakna hitam nan indah bagi si Pemenang dan sebaliknya berarti murung untuk si Pecundang.

Jadi, atas nama hasrat yang belum kita beri nama ini, jika engkau sepakat menjalani permainan 8 Ball di sisa hidup kita berdua, mari menyepakati kemenangan dan kekalahan sebagai peran semata. Sebab, aku membutuhkanmu untuk menjadi pemenang atau pecundang, demikian juga engkau membutuhkanku untuk menjadi pelengkap peran. It’s need 2 to Tango, Kekasih…

images (7).jpeg
[Image Source]

Tak perlu cemas dengan apapun hasil yang akan kita terima, selama tiap kita mampu serius dalam permainan, tapi tak perlu serius saat bermain. Jika kita mampu menerima klise, “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda,” ada baiknya kita menyambut kebalikan klise tersebut sebagai acuan menjalani permainan berdua, “Kemenangan adalah kekalahan yang tertunda”; selama kita yakin akan ada pertandingan selanjutnya yang masih melibatkan engkau dan aku, sebelum engkau atau aku -menemukan mitra-tarung yang lebih asyik. Ketika ‘aku-yang-ini’ menemukan ‘engkau-yang-lain’ atau ketika ‘engkau-yang-ini’ menemukan ‘aku-yang-lain’.
Jadi, tak soal siapa menang dan diri mana yang kalah, selama kita siap menerima bahwa menang adalah kehadiran kebenaran dan kalah menjadi sirnanya keburukan dari gelanggang pandang kita.

***

Ini hari ia datang ke persembunyianku dari keramaian yang sedang kuhindari. Perempuanku. Diri yang cuma seorang tahu tempat ini.

Gemercik air dari lereng bukit yang menjalani aliran takdir di alur selebar bahu menyambut celotehnya, selalu segebyar kembang-api. Ia tiba meminta penjelasan mengenai persepsiku soal hubungan 2 insan. Seperti biasa, bagian terlebar sofa menjadi sasaran pelabuhan pinggul yang menyatu dengan pinggang ramping miliknya. Pelukannya menyambutku yang kubalas dengan sebentuk panik, sebab sepasang tanganku sedang menggenggam 2 gelas jus anggur. Seorang kawan mengirimkannya dari Borneo. Hasil panen kebun percobaannya.

Keberduaan kami selalu berlatar musik dari laptopku yang telah hadir 6 tahun silam. Change the World versi live milik Eric Clapton menjadi lagu pertama yang menyambutnya. Ia tersenyum saat menyimak liriknya. Suatu ketika, aku tak teringat di pertemuan ke berapa, kami berdua tercekat saat Beatles menguarkan The Long and Winding Road.

“Apa yang membimbingku hingga bisa tiba di depan pintumu?” aku tersentak mendengar pertanyaannya, meski tahu pasti kami sama-sama menyimak lagu itu.

“Probabilitas dan momentum,” jawabku tak mampu menutupi gelagat gelagapan, menghempaskan himpitan napas di dada.

“Jangan pakai istilah Fisika-lah…” rengeknya.
“Itu bukan istilah Fisika. Ilmu Fisikalah yang menggunakan bahasa sebagai cara menjelaskan gejala. Dan… tiap gejala alam berjalan dalam mekanisme yang kita kenal sebagai Fisika,” elakku memancing kesalnya.

“Iya. Tapi ‘kan aku nggak ngerti,” balasnya.
“Ooo… kalau nggak ngerti bilang saja, jangan menyalahkan Fisika, Non…”

***

Saat ia tiba dengan seperangkat belanjaan dapur ‘lengkap-dengan-baretnya’, berarti agenda kami memasak. “Aku belum pernah makan Laksa,” cetusku suatu kali. Pertemuan selanjutnya ia membawa perangkat tempur dan amunisi untuk membuat Laksa. Ketika ia membawa buku baru, berarti kami membaca. Ia selalu membawa 2 buku yang sama. “Kita baca 1 bab dulu, ya…” perintahnya. “Aku belum baca buku ke-6 Supernova,” ujarku suatu kali. Pertemuan selanjutnya menjadi pelengkapan bacaanku. Mengungkap keinginan di hadapannya seperti merogoh Kantong Ajaib milik Doraemon.

Kami sepakat untuk bersantai –dengan segala makna yang terkandung di dalamnya– tiap hadir untuk menikmati keberduaan. Ia memintaku memasukkan Risalah Hati milik Dewa ke dalam playlist. kusanggupi karena alasannya yang menghentak kesadaran.
“Aku pernah dengar banyak lagu yang menggambarkan betapa lemah diri lelaki di hadapan kaumku. Sebagai contoh, Sabda Alam milik Ismail Marzuki. Tapi tak kutemukan keluluhan lelaki selain dalam lagu ini,” paparku. Menurutnya, Sabda Alam masih menunjukkan sisi superior lelaki dalam larik:

…Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu…

Penjelasannya berlanjut soal musikalitas tembang pilihannya. Menurutnya, lirik dan musik dalam Risalah Hati begitu padu. “Aku mengagumi Once secara total cuma dalam 3 lagu, Risalah Hati, Satu dan Dealova,” cerocosnya lagi.

“Kenapa kau suka lagu Satu?” tanyaku.
“Itu lagu tentang betapa dekat Khaliq dengan makhluk!” jawabnya mantap.

“Iya. Aku tau, itu memang lagu tentang kedekatan Tuhan dengan hamba. Pertanyaanku, ‘kenapa’, bukan ‘tentang apa’.
Ia menunjukkan senyum seorang jawara. “Aku belum selesai. Itu masih mukadimah jawaban, belum masuk ke inti jawaban,” tangkisnya tangkas. “Kalau manusia paham bahwa seluruh daya di dirinya berasal dan dimiliki Tuhan, semua orang bakal tak suka berbuat jahat,” ujarnya mantap.

Kurespon jawabannya dengan melantunkan plesetan Dealova:

Aku ingin menjadi mimpi basah dalam tidurmu…
Aku ingin menjadi sesuatu yang bisa membuat kau nafsu
Karena napas melenguh oleh sentuhmu
S’lanjutnya kau minta lebih…

Meski memasang paras sebal, ia terbahak mendengar hasil parodi olahanku. “Dasssarrr… otak cabul! Messsuuummm...” serunya sambil menoyorkan jari telunjuk ke pelipis kananku.
“Cabul dan mesum adalah kelanjutan dari romantisme!” balasku tak mau kalah.

***

Nyanyian beraneka unggas bersahutan saat pelukannya meninggalkan tubuhku. Kunjungan ke-12. Ya. Aku selalu menghitung, mencatat dan mengingat hadirnya, lengkap dengan detail percakapan. Sudah 11 kali ia tiba tanpa aroma parfum. Aku sungguh bersyukur atas kesediaannya memenuhi keinginanku, tak mengantarai penciumanku atas aroma sejatinya dengan kepalsuan bikinan pabrik. Permintaan untuk datang tanpa wewangian menimbulkan beban tersendiri. Sebab, di kunjungan pertamanya aku harus cuap-cuap soal feromon.

Ritus pelukan selalu menjadi prolog setiap kunjungannya. Sejak kunjungan pertama. Aku sempat terhenyak kaget. Namun kecanduan efeknya. Pelukan yang menjelma mood-booster, lebih cespleng ketimbang kopi Red-Eye racikan Bang Jal. Sebagai epilog, ia menangkupkan 2 rumpun jemari di keduabelah pipiku, beriring tatap mendalam sekitar 30 detik tanpa kata sebelum kembali menyerahkanku ke dalam pelukan sepi.

Aku tak peduli dengan maknanya, sebab lebih memilih tenggelam menikmati rasa yang hadir. Ada perasaan kembali menjadi bocah. Ia juga merasakan hal serupa saat aku mengusap kepalanya dengan keduabelah tanganku. Meski mengusutkan rambutnya, ia merasakan sensasi diperlakukan sebagai bocah.

“Apakah semudah itu jatuh-cinta?” tanyanya atas misalku yang menggunakan analogi 8 Ball. Aku paham, di ranum usianya, Cinta masih bermahkota ketunggalan pasangan. Monogami masih bertempat nyaris sejajar dengan monoteisme. Hingga pergantian pasangan juga nyaris sejajar dengan mempersekutukan Tuhan. Benaknya masih sukar menggambarkan peralihan dari masa perpisahan yang melanda asmara.

“Oh… tentu tidak. Lagipula, aku tak pernah jatuh-cinta, aku selalu bangkit-Cinta (dengan C kapital).”

“Semudah itu?!” tanyamu dengan intonasi yang seolah tak bisa terima.
Nggak mudah. Tak ada hal yang mudah. Cinta yang bangkit dalam diri tak serupa dengan terpesona. Terpesona itu lebih mudah terjadi ketimbang kebangkitan Cinta dalam diri. Sebagai upaya lolos dari keterpurukan, aku cuma punya pilihan begitu. Bagiku demikian. Kupikir, itu sebab ada istilah ‘mantan’ dalam perikehidupan yang mewarnai perikemanusiaan. Aku cuma butuh waktu untuk membangkitkan Cinta setelah rubuh oleh hantaman perpisahan,” jawabku.

“Menjalani prosesnya, tak semudah mengucapkannya, kupikir hal ini berlaku untuk banyak hal. Aku nggak berani bilang semua hal,” imbuhku.

“Jadi, kau tak takut kehilangan aku?” tanyanya dengan nada pasrah-mengambang.
“Aku takut kehilangan semua yang kumiliki, segala yang kualami. Namun, jika dihadapkan pada pilihan untuk membunuh ‘takut’ atau membunuh ‘kehilangan’, telah kuputuskan akan membunuh ‘takut’. Aku benar-sungguh-teramat-sangat-betul takut nian kehilangan berlian dengan kemilau secemerlang kau, Juwita…” jawabanku kali ini mengukir tahta seulas senyum bibirnya.

“Lantas, mengapa ada orang yang bunuhdiri saat putus-Cinta?” tanyamu menentang argumenku.
“Sebab, mereka tak suka tawar-menawar dengan keadaan, tak bisa menerima kenyataan. Nyaris tiap diri menganggap pilihan pendamping sebagai tujuan berkomitmen menjalani waktu bersama sampai mati, bahkan sampai hidup sesudah mati. Padahal, jangankan soal pilihan pasangan, soal iman saja fluktuasi rasa manusia sama dengan gejolak valas saat suksesi Presiden Amerika,” balasku dengan napas tak terputus.

Telingaku menangkap sayup dan lamat suara Bang Iwan:

Seperti biasa, aku tak sanggup berjanji
Hanya mampu katakan
Aku Cinta kau saat ini…
Entah esok hari…
Entah lusa nanti…
Entah…

Ia menatapku kesal. Tangannya sesekali mengaduk sendok jus sewarna pucuk pisang. Begitu rampingnya, hingga mengingatkanku pada postur model di cat-walk. Sesekali ia mengganti objek pengalihan rasa tak terimanya atas penjelasanku dengan menyusutkembangkan sudut sedotan.

“Kau benar, tapi aku tak bisa terima jika penjelasanmu menggambarkan betapa mudah seseorang mengganti tambatan-hati,” ujarmu dengan nada merajuk.
“Kebenaran tak menerima ‘tapi’, Manisku… Benar tak bergantung pada aku atau kau. Tak ada benarku atau benarmu,” paparku.
Ia makin kesal. Tergesa kutambahkan alasan sebagai wujud memasang ‘gigi-atrek’ menghadapi puncak kesal yang sedang menjadi landas-pijaknya.

“Aku sudah bilang, Cinta butuh waktu. Meski tak selalu butuh pasangan,” imbuhku mencoba meredam kepundan yang hampir memuntahkan magma di hadapku. Keningnya berkerut. Tampaknya ia telah teralihkan, dari rasa tak terima mengenai pernyataan, “Manusia bisa mencintai siapa saja sebagai pasangan”. Fokusnya telah berganti menyoroti pernyataan, “…Cinta butuh waktu, meski tak selalu butuh pasangan”. Benar saja. Ia langsung menyambar pernyataanku yang telah kutebak.

“Tunggu… tunggu… tunggu…” sergahnya dengan ekspresi kemenangan. “Bagaimana mungkin Cinta tak selalu membutuhkan pasangan…?!” langgam suaranya menggapai puncak.
“Ya. Mungkin saja. Dan kerap terjadi,” jawabku ringan. “Kau pernah mendengar istilah, “Bertepuk sebelah tangan?” tanyaku retoris.
Semangat kemenangan di parasnya sekonyong sirna tanpa sempat tanpa gradasi.

Sontak ia mencubitku dengan seluruh rasa gemas yang telah, sedang dan akan menghias peradaban manusia. Pangkal tanganku langsung memutih, lecet. Aku yakin ada seserpih kulitku tercabik di bawah kukunya.
Gelak kami bersahutan, tumpang-tindih. Tak puas dengan cubitan, ia menjambakku dengan sepasang tangannya. Jemari lentik itu menjelma cengkeraman. Entah berapa helai rambutku yang mesti rela meninggalkan tempatnya tertancap. Meski sakit, aku tahu kekalahannya sedang memamerkan kebrutalan yang sesungguhnya melambangkan ketakberdayaan.

“Beib…” ujarnya saat masih belum habis dosis tawa kami.
“Ya…” jawabku.
“Kau sadar nggak, sih… mulutmu itu selihai Iblis!” ujarnya. Gelak yang mulai surut di perut kembali meledak-meletup. Aku tak ingat kapan terakhir kali terbahak hingga terasa kejang di perut seperti sekarang.

Entah berapa menit momentum itu berlangsung. Kami berdua terengah oleh tawa yang mendentam di jantung dan paru. Darah yang terpompa naik ke kepala menghadirkan semu merah-merona di puncak pipinya. Detik itulah kutemukan hakekat makna humaira milik Muhammad saat mengungkap pesona ‘Aisyah. Ia tampak makin menggemaskan.

Tangannya meraih gelas berpinggang ramping di meja-kaca yang berseberangan dengan sofa, mereguk jus anggur yang kuhidangkan untuk kami berdua. Gemuruh napas yang bergelora dalam tawa telah meninggalkan dadanya.
“Tunggu!” ucapnya hampir tersedak. Ia tampak tergesa sebab sekonyong sebuah gagasan muncul di semesta pikirannya. Kata 'tunggu’ menjadi ucapan pertamanya yang terucap saat napas kami mereda. Aku langsung mawas diri, memasang sikap waspada untuk bersiap menghadapi serangan-baliknya. Apakah ia menemukan celah untuk menghantamku?! Begitu gesitkah processor benaknya menemukan celah untuk mendaratkan upper-cut ke daguku?!

“Jika Cinta tak selalu membutuhkan pasangan, apa sebutan untuk Cinta yang tengah berlangsung antar 2 insan?” tanyanya dengan sekilau binar di sepasang bola-matanya.
“Asmara…” jawabku seyakin diri atas kepastian hadirnya esok. Aku telah bersiap dengan wujud sebalnya atas kebenaran yang muncul memupus kemenangan yang gagal dalam rencananya. Cubitan, jambakan dan cengkeraman tangannya di kedua pipiku. Ini kali tebakanku salah. Sebab, tatapnya langsung meredup, matanya membasah menatapku berhias sebentang senyum sendu. Tubuh bermuatan pesona nan memabukkan di sampingku menunjukkan gelagat hendak menerkamku dengan jenis kegemasan selembut satin, berpadu kemanjaan kucing. Mencondong dan menerpa diri yang cuma mampu rebah pasrah di lengan sofa. Bersandar. Menanti hunjam cambukan sentuh. Merangkai sebentuk dosa yang telah tersepakati tanpa kata, bergelimang di sekujur tubuh. Aku dan dia tenggelam dalam napas yang bergemuruh riuh, saat 2 tubuh bertukar lenguh, mengais peluh…

“Ehm… Kami selaku tokoh yang ada dalam cerita di atas mengimbau kepada para pembaca yang sedang berpuasa untuk tidak menyaksikan kemesuman nan cabul yang sedang berlangsung di antara kami berdua. Jangan pernah menuntut tanggungjawab kami, jika perhatian kalian terhadap aktivitas yang sedang kami jalani menjadi penyebab batalnya ibadah tahunan kalian. Tolong jangan salahkan kami. Tindakan yang kami lakukan berdua ini terjadi karena arahan dari penulis semata. Jadi kalau mau komplain, silahkan langsung ke penulisnya! Mohon tidak memperhatikan kelanjutan dari aktivitas yang sedang kami lakukan; Meniru boleh, Menonton jangan… Hingga saat ini kami tidak membutuhkan perhatian dan tidak membutuhkan kerjasama dari para pembaca untuk mendukung terselenggaranya aktivitas kami. Sejauh ini, kami berdua mampu menuntaskannya tanpa bantuan dan dukungan dari pihak lain. Atas ketidakperhatianan dan ketidakkerjasamaannya kami ucapkan, “Memang sudah begitulah semestinya!”

ImageSource1
ImageSource2

Sort:  

Te gere ara buwet, Bang... lagunini nye pikiren...

kenapa harus kau posting diwaktu jam puasa bang 😭

kenapa tidak nanti saja setelah buka puasa.

sakit rasanya dilarang berimajinasi karena bulan puasa 😂

Hahahahahaha...
Anggap aja ini cobaan, engkau mesti tabah menjalaninya.

Sambit penulisnya pake oncom 😂😂😂

Sambitannya udah kusambut pas berbuka puasa tadi, Bang...
Hehehehehehe...
Kukira bakal dilempari timphan labu...

Waah kalau timphan labu, itu barang langka, kesukaan mertuanya @cicisaja, sorry.. That's too much for an author who didn't finished his story 😂😂😂

Wedhewww... jelas jauh kalah-bulu aku kalau sama mertua Kak Cici, Bang...

***Menjura...

Hahahaha.. Bisa aja.

atas perlakuan diatas, maka dengan ini saya mengajukan gugatan karena saya beranggapan @sangdiyus sudah mencederai kepuasan para konsumen. Semua penikmat tulisan sang sutradara sudah kami lahap dan kami terbuai. Kenapa tiba-tiba engkau menghalangi imaginasi kami wahai @sangdiyus? Sungguh tega engkau, bukankah engkau menulis dengan tujuan untuk kami nikmati???

Maka dengan ini kami para konsumen menyatakan sangat kecewa. Dan atas kejadian ini kami memutuskan apabila membaca tulisan @sangdiyus, apapun tulisannya maka kami berhak untuk menikmatinya tanpa campur tangan orang lain, termasuk penulisnya sendiri.. sekian..

Tamiang, 7 Juni 2018..

😁😁😁

Hahahahahaha...
Ini gugatan class-action atau legal-standing, Bons?

Terserah apapun itu namanya.. pokoknya gugat kek tu lah... Hehe

Coin Marketplace

STEEM 0.25
TRX 0.11
JST 0.032
BTC 62837.82
ETH 3037.45
USDT 1.00
SBD 3.80