Pudarnya Impian Sepertiga Senja Pertengahan

in #indonesia6 years ago (edited)

Eichhornia Crassipes
Aku mulai terkesan saat jemari lentik tangan kanannya menggenggam Eichhornia Crassipes dalam sebuah foto yang terunggah di akun pribadinya. Bunga yang di kenal sebagai Common Water Hyacinth tersebut mesti kuterima sebagai kenyataan bernama Eceng Gondok, nama yang samasekali tak puitis dan feminin. Tanaman akuatik asal Amazon yang kerap kutemui sebagai penghias permukaan Sungai Mati (Krueng Do) di kawasan Lambhuk, Banda Aceh. Saat berbunga, warna Ungu menghias Hijau, menjadi kontras yang mencucuk pandang.

Warna Ungu menjadi simbol dari sifat tak terduga dan menjadi perlambang dunia psikologi. Setidaknya itu kata si Indo, kawan lama yang menjadi anggota dan pendiri Gemar Alam Psikologi (GASI), Universitas Medan Area, Sumatera Utara.

Sepertinya komunikasi kami yang terakhir memupuskan anganku untuk mengajukan sebuah permohonan padanya; Sebuah keinginan menghabiskan sepotong sore yang sederhana sambil menyantap semangkok bakso atau 20 tusuk cilok berhias 2 gelas kopi. Mungkin ia akan memesan Cappuccino dan aku memesan segelas tubruk anugrah Tanoh Gayo. Ya… begitu saja adegan di sepotong sore yang cerah di tepi Danau Lut Tawar yang kami rencanakan secara sadar, saksama dan dalam tempo yang tak seberapa mana. Di Sepertiga senja yang pertengahan. Kala mentari mulai meredup, saat sayap sang malam mulai melingkung ruang-pandang.

Meskipun, tanpa 'terduga-kesalahan' itu, belum tentu ia bersedia menjalani sepotong sore nan terdamba di hati, setidaknya peluang dan kemungkinan mewujudnya hasratku bakal lebih besar. Yah… sekurangnya aku tak menjejakkan prasangka atau kesan buruk dalam benaknya.

Aku ingin apa yang terjadi di antara kami berdua tak berlandas pamrih. Misal, aku tak ingin ia memenuhi keinginan dalam anganku itu karena aku pernah mengirimkan 250 gram bubuk kopi untuknya. Aku ingin bersamanya menjalani sepotong sore itu karena sepakat bahwa hal itu asyik. Tak perlu berisi banyak percakapan, cukup santapan tanpa manner ala Eropa. Masing-masing dari kami tak rikuh saat saus atau kuah bakso belepotan, off-side di tepi bibir masing-masing. Itu saja!

Eceng Gondok

Sungguh... cukup bagiku aku saja yang terobsesi padanya. Dia tak perlu tau. Kami cuma dua insan yang sama-sama hendak berada di satu tempat dan bersepakat menjalani sesuatu berwujud bakso atau cilok berdua di ruang umum, titik. Sepasang insan yang bersisian jalan dalam ketakterbatasan seni probabilitas bikinan Tuhan.

Ehm… kalau bisa, tak ada sesi berfoto. Soalnya aku yakin, hasilnya bakal njomplang, ia yang berhias aura kemilau bersisian dengan aku yang kusut-kucel-kusam-kecut-masam. Selembar foto itu pasti bakal menjadi aib baginya. Sungguh tak adil jika cuma aku sendiri di antara kami berdua yang bangga dengan pose dalam foto yang benar-benar menjadi imajinasi yang kujauhi. Gampangnya lagi, kelelakianku dan keperempuanannya bukanlah bagian dari rencana yang kukhayalkan itu.

“Apa warna sprey tempat engkau membaringkan tubuh ini malam?”

Entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja. Melintasi ujung sepasang jempol tanganku. Aku tak sedang ingin bercanda, cuma ingin mengajukan pertanyaan berbeda saja dari lelaki lain yang mungkin sedang memanfaatkan jasa Messenger WhatsApp di smartphone-nya pada saat yang sama.

Kupikir-pikir lagi pertanyaan soal sprey itu. Apakah ada kecabulan di dalamnya? Nggak ada. Aku menanyakan hal yang berbau garmen, pikiranku berusaha menjauh untuk mempertanyakan tubuhnya. Dan sprey jelas bukan tubuhnya. Warna bajunyapun tak pernah kutanyakan. Pokoknya pertanyaan yang kuproduksi di serebelum otak tak akan menyentuh kulitnya. Tak ‘kan kusentuh kulitnya, dengan pertanyaan sekalipun! Tak ‘kan kusentuh kulitnya meski dengan pertanyaan sekalipun! Nah… sudah jelas, ‘kan…?!

Padahal, aku cuma hendak mengajukan pertanyaan yang berbeda dari lelaki lain, berlainan dengan pengagumnya yang lain. Entah mengapa pula, aku tanpa sadar menabrak pagar etika yang telah ia pancang di halaman dirinya. Kupikir terlalu klise menanyakan, “Apa kabar?”, “Sedang ngapain?”, “Sudah makan atau belum?”

Basi!

Jadi, meluncurlah pertanyaan yang kupikir out-of-the-box-tapi-ternyata-blunder itu, “Apa warna sprey tempat engkau berbaring kini?”

Bayangkan, sebelum pesan terakhirnya yang menanggapi rasa kopi kirimanku, aku mesti menunggu 19 hari. Tepatnya 14 Mei hingga 2 Juni 2018.

***

“Assalamu’alaikum, Bang… kopinya enak,” ujarnya melalui WhatsApp. Aku terlonjak. Sebentuk girang berkilau dalam benak.

“Wa’alaikumsalam wa Rahmatullahi wa Barakatuh, Dara… Baru dicoba atau telat review?” tanyaku.
“Telat review, Hehehehehehe… Itu jenis kopi apa namanya, Bang?” ia bertanya lagi.

“Specialty. Gayo Arabica Specialty…” balasku. Aku tak mau memanfaatkan ketidaktahuannya soal kopi. Padahal bisa saja kuperpanjang perbincangan dengan mengurai jenis kopi berdasarkan varietas, bentuk biji dan pengolahan.
Makasih banyak, Bang…” ujarnya. Entah mengapa aku merasakan keriangan dalam ucapan tertulis itu. Membayangkan sepasang bolamata bening itu berkilau dan berbinar, menimbulkan sebongkah hangat di ruang dadaku.

“Terima kopi aja, Ra… usah terima kasih, sebab kasihku belum lagi kuberi,” balasku mencoba menggodanya. Saat jempol menekan tombol Send, sebentuk kekhawatiran sempat menerpa.

“Akan marahkah ia dengan godaanku yang berasal dari ketidakberdayaan atas pesonanya?”
Ternyata kekhawatiranku sirna saat ia membalas pesanku 17 jam kemudian.

“Hahahahahahaha… Baik, Bang…”

Ahhh… lega rasanya. Kukira 17 jam adalah hukuman karena candaan yang mungkin saja membuatnya terganggu.
Tiba-Tiba, sebuah pesan lain darinya masuk.

“Bagaimana dengan Steemit? Masih aktif?” tanyanya.
“Nggak terlalu aktif,” balasku singkat.
“Kenapa, Bang?”
“Nggak dapat pantulan,” balasku.
Gimana maksudnya?”
“Kebanyakan tulisanku pantulan dari beragam hal. Biasanya reaksi atas tulisan orang (langsung ataupun tidak), peristiwa dan keisengan. Belakangan ini, aku lebih banyak tenggelam dalam pikiran sendiri.”

PS: Menerima jawaban ini, berarti memasuki duniaku. Jangan khawatir, engkau bisa masuk dan keluar dari duniaku kapan saja. Selamat Datang…

“Hehehehehehe… pertanyaannya mendalam, ya Bang…” balasnya.
“Kalau aku sering nggak bisa ‘nulis, terlalu peduli sama tulisan orang yang menurutku keren. Dan menganggap tulisanku sendiri kaya’ anak kecil,” paparnya lagi.

“Sebaiknya gimana, ya? Eh… koq aku justru nanya, ya…” tambahnya berhias emoticon cengiran.

“Aku suka segala hal yang mendalam, terutama soal pemikiran. Pertanyaan mendalam berasal dari pemikiran mendalam,” jawabku.

“Aku juga kerap mengalami hal serupa, Ra…”
“Hehehehehehe… Berarti jadi pertanyaan tanpa jawaban, ya Bang?” aku menangkap kesan ia sungguh membutuhkan jawaban.
“Jawabannya ada. Sebentar, aku pasang cok laptop dulu, ya… Apakah engkau bersedia menanti sejenak, Ra?” balasku.
“Siap. Apa aku harus menghidupkan laptop?”

Nggak perlu. Menurutku, tuliskan saja apa yang ada dalam pikiran. Kupikir kita tak perlu minder lagi, Ra… Tiap orang punya gaya dan sudut pandang khas dalam menulis. Tiap orang punya kecenderungan untuk mengagumi dan terpesona dengan karya orang lain. Kita cuma harus menulis dengan apa yang sudah tersimpan dalam diri masing-masing. Sebagai bukti, aku mengalami sebuah kekaguman mendalam pada karya Bang Musmarwan Abdullah sehingga minder dan kehilangan selera menulis. Sebab, segala hal yang hendak kutulis telah ditulis oleh Bang Mus. Ternyata, tanpa kusadari, Bang Mus juga membaca tulisanku sesekali. Bahkan, suatu ketika Bang Mus membuat tulisan yang menurutnya terinspirasi dari tulisanku yang berjudul “Melindungi Tuhan?” Bukan main bangganya ketika orang yang kukagumi ternyata mendukung pemikiranku,” cerocosku panjang kali lebar kali tinggi.

“Akan kucoba, Bang… Terimakasih cerita harinya. Dan selamat menulis juga untuk Abang. Kuharap, suatu hari nanti karyanya dibukukan. Aku akan dapat membaca dan juga dapat tandatangannya,” balasnya.

“Ah… semestinya aku yang bilang begini. Selama ini aku mengagumi tulisan Dara,” balasku sepenuh hati. “Oiya… jangan bilang terima kasih, terima cerita aja, Ra… sebab kasihku belum lagi kuberi,” tambahku.
“Abang terlalu merendah,” balasnya lagi.

“Hahahahahaha… Terima ceritanya, Bang… Sedap ceritanya…” balasnya merasa terjebak lagi.
“Ra, aku sudah tau mana langit, mana pula bumi. Engkau sudah menulis buku, aku belum,” balasku menegaskan alasan kekaguman.

“Siapa orang yang punya buku tapi tidak bangga dengan bukunya? Hanya aku! Aku malu” balasnya.
“Kenapa malu, Ra? Percaya atau tidak, aku selalu bangga setiap engkau membalas atau mengirim pesan,” ujarku meyakinkannya.

“Kenapa?”
“Namanya juga fans, Ra… kalau dapat pesan dari idola itu rasanya pasti girang lah…” balasku.
Koq bisa nge-fans? Pantas diragukan ini.
“Tolonglah… Cuma kejujuran yang tersisa dari diriku, yang tak bisa direnggut siapapun,” aku tak punya kalimat lain untuk meyakinkannya.

“Siap,” balasnya singkat dan berkesan kebatalyon-batalyonan.
“Aku nggak PeDe aja punya fans orang keren,” balasnya. Sepertinya ia mulai mencoba menyerang kepercayaandiriku.

“Baiklah, berikut alasan aku nge-fans:

  1. Engkau Perempuan;
  2. Engkau berpikiran terbuka;
  3. Engkau punya cara berpikir yang sehat;
  4. Engkau mahir menulis;
  5. Engkau cantik;
  6. Cukup 5 alasan agar tak mirip Rukun Iman.

Sekarang, coba jelaskan alasan yang membuat engkau bilang aku keren,” balasku menantang.

“Nomor 4 nggak bener,” balasnya. “Yang buat aku bilang Abang keren adalah tulisan Abang…” balasnya.
“Wah… kenapa engkau membantah poin Nomor 4? Ini kesedihan keduaku kali ini. Padahal sudah kurangkai sejujurnya alasan di atas,” balasku lagi. Sejujurnya pula, kukira ia akan membantah poin ke-5.

“Terima jujurnya, deh…” ia mengetikkan jawaban yang terlolos dari ‘jebakan terimakasih’ seperti biasa.
“Syukurlah kalau tulisanku menghibur, Ra… lagipula, aku yakin, bukanlah aku orang pertama yang menyatakan poin ke-4,” jawabku. “Ini sedang di kos atau sedang bermalamminggu, Ra?” tanyaku.
“Sedang di kos, Bang…” tulisnya.

“Kukira sedang malammingguan,” balasku. “Eh… malamseninan,” ralatku.
Lantas muncullah pertanyaan bedebah itu. “Ra, apa warna sprey atau bedcover tempat engkau berbaring saat ini?”

“Kenapa, Bang,” balasnya balik bertanya.
“Jangan membalas pertanyaan dengan pertanyaan. Tiap tanya butuh jawab, Ra…” balasku.
Lantas, tak ada lagi pesan muncul. Sudah 4 kali 24 jam aku menanti balas.

Otakku masih menerka, apakah ia akan marah jika aku menanyakan warna gordyn-nya?

***

Ia memanggilku Bang, atau Abang… sesekali namaku menyusul di belakang. Padahal aku sungguh ingin ber-kau-aku. Aku kerap menyebut nama dan menggunakan ‘engkau’ sebagai kata ganti orang kedua. Entah apa yang ada dalam benaknya. Tapi ia tak pernah komplain saat kupanggil engkau. Mungkin ia bakal dongkol kalau kupanggil ‘kau’.

Sungguh, aku ingin mengaguminya tanpa beban, meski kekaguman adalah beban tersendiri. Maksudku, aku hendak mengaguminya begitu saja. Selayaknya seorang penggemar dengan idola. Membiarkannya di sana… di tempat yang samasekali tak mampu kujangkau, enggan kujangkau, bahkan mungkin ia sendiri yang tak bersedia kujangkau.
Biar saja ia tetap tak tersentuh olehku, menjadi semacam berhala tanpa pedupaan. Ya. Gadis yang kutahu tak pernah gagal tersenyum di zaman wabah senyum plastik dan epidemi-gagal-senyum ini.

Tiap senyum dalam fotonya mengungkap betapa ceria ia di dalam. 'Varietas' senyum yang mampu menjangkiti orang di sekitar dengan keriangan yang berkuasa dalam dirinya. Tak terbersit ragu dan rapuh dalam tiap ulas tarikan busur di sebentang bibirnya. Tak pernah ia gagal memproduksi senyum hingga menghadirkan seringai seperti… ah… sudahlah.

Di ketakterbatasan alasan dan cara untuk berbahagia, aku memilih berbahagia jika dia senang. Andai saja aku betul tahu bahwa celoteh dalam percakapan aksara tanpa suara di antara kami, aku pernah membuatnya benar-benar tersenyum… ah…

Kadang aku membayangkan ia tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya, dengan cuping hidung yang mengembang dan mata yang kian basah-berbinar menghadirkan kilau yang teduh dan hangat.

Dara, kubangun sudah sebuah ruang untuk meletakkan sebingkai fotomu, berhias senyum –yang setahuku tak pernah gagal– di lubuk hatiku.

Percayalah, sebelum engkau memasukinya, bayangmu telah lebih dahulu bertahta di situ…

ImageSource1
ImageSource2

Sort:  

NIC Pic

Thank you very much for stopby, Pal...

Jarang-jarang nongol. Sekali datang bung diyus langsung membawa cerita renyah.

Mari kita kunyah bersama...
Hahahahahaha...

Enceng gondok tumbuh karena kurangnya garam beryodium di daerah itu

Benar sekali. Dinas Sosial setempat mesti turun-tangan menyikapi temuan ini.
HAHAHAHAHAHAHA...

Yus, harus dicari tahu, apakah memudarnya senja karna cuaca terlalu panas atau karena luntur dimakan waktu. Sebab, kata Hamlet, biarkan senja memudar asal cinta tak pernah lusuh hehe

Bukan senja yang memudar, Bang... Tapi impian tentang sepertiga senja pertengahan. Hehehehehehe...

Ternyata hadirmu ibaratkan matahari pagi,
Selalu hangat dan cerita yang Engkau tulis tak bosan-bosannya ku baca...
Selalu garing, aku fansmu Bang Diyus

Hahahahahaha...
Aku cuma bohlam 5 watt, Bro...

Semoga tidak muncul pertanyaan "Pakai piyama warna apa malam ini?"

Aisss... Petanyaan Pak Ketua makin mendekati kulit, ya...
Bahayyyaaa...

Hahahahahaaa.....kulit terluar saja kok mas @sangdiyus

Mulanya kulit terluar, Pak Ketua, selanjutnya terserah Anda...
Hahahahahaha...

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63877.55
ETH 3143.56
USDT 1.00
SBD 3.97