Kontes menyanyi

in #indonesia5 years ago

Bagong dan Petruk ikut kontes menyanyi nasional. Mereka bertanding di televisi dan masyarakat menjadi juri. Setiap sms yang masuk dihargai satu suara. Praktis hanya ada satu cara untuk menang: berusaha meyakinkan banyak orang untuk mengirimkan sms sebanyak-banyaknya.
Seluruh penjuru negeri sibuk bergosip tentang kontestasi Bagong dan Petruk, termasuk di Desa Sumberwaras. Seperti pagi ini, Bejo dan Maman bersikukuh membela idola mereka.
“Bagong itu kan sudah hampir 5 tahun berpengalaman menjadi penyanyi. Fotonya pernah mejeng di majalah Times segala sebagai penyanyi baru yang berprestasi” kata Bejo sedikit sombong walaupun prestasi yang baru saja diungkapnya itu bukanlah prestasi pribadinya. Mungkin memang sudah seharusnya sombong jika kita mengidolakan orang berprestasi?
“Ah itu kan cuma pencitraan, seperti yang dilakukan para politisi saat musim kampanye tiba” Maman berdalih. “Petruk pasti akan menjadi penyanyi yang lebih baik karena berasal dari keluarga penyanyi, bahkan merupakan penyanyi yang religius karena ayah dan kakeknya adalah pencipta lagu-lagu religius. Mereka adalah para pemuja Tuhan yang takut azab neraka” Maman tak mau kalah.
“Man, kita ini mau memilih penyanyi, bukan tokoh agama. Apa urusannya bawa-bawa agama? Lagian kalo bawa-bawa agama, baik Bagong maupun Petruk kan sama-sama muslim. Hanya karena Bagong tak berasal dari keluarga pencipta lagu religius, tidak berarti dia kurang muslim daripada Petruk. Iman itu letaknya di hati bukan di nasab” Bejo tampak agak sedikit tersinggung karena Maman membawa topik yang agak sensitif.
“Tapi orang-orang di sekeliling Bagong: manajemen, penata gaya, pelatih suara bahkan make-up artisnya saja kebanyakan orang-orang Tionghoa yang bukan muslim. Emangnya ga ada pribumi muslim yang bisa melakukan itu semua? Bukankah kau bisa dinilai dari siapa teman-temanmu? Kalau teman-temannya kafir, berarti dia juga dong” Maman pun menaikkan volume suaranya. Entah mengapa ia jadi berang. Apa benar ini hanya karena kebanyakan orang di sekeliling Bagong berasal dari etnis Tionghoa atau cuma karena ego dirinya merasa tertantang karena Bejo “menangkis balik” argumennya.
“Ah kamu ini SARA sekali. Mereka kan memang terbukti mampu, daripada pakai majanemen pribumi yang katanya muslim tapi ternyata hasil menyanyi dikorupsi? Lagipula, si Petruk itu kan pernah terseret kasus kriminal. Bahkan dia dipecat dari Trio Belang karena kasus itu. Masa kriminal kau pilih juga, kau pikir tidak ada lagi orang bersih yang bisa jadi penyanyi?” Bejo balik mengejek.
Bejo dan Maman bertengkar di warung mbok Inem. Kedua lelaki yang seharusnya sudah sejak tadi bekerja di sawah itu kini malah saling pukul, tendang dan bergulat. Kursi-kursi kayu terbalik, sebagian makanan jatuh. Mbok Inem menjerit, tetangga-tetangga keluar, seisi Desa Sumberwaras heboh. Hingga Pak Kades Semar yang terkenal bijaksana pun dipanggil untuk bisa merukunkan Bejo dan Maman.
Malam itu juga diadakan rapat di balai desa. Seluruh masyarakat berusia di atas 17 tahun diwajibkan hadir. Setelah pembukaan ala kadarnya, Pak Semar membuka suara:
“Ini kali ke 5 terjadinya pertengkaran antar warga karena acara kontes menyanyi nasional ini. Sebelumnya Paiman dan Paijo bertengkar di ladang Pak Rahmat, Agus dan Bambang di depan sekolah, Didit dan Wawan juga Burhan dan Suparman. Selain itu saya juga mendengar banyak sekali ibu-ibu yang menggosipkan ibu-ibu lain karena pilihan penyanyinya tidak sama. Terus terang, saya masih tidak bisa percaya hanya karena kontes menyanyi kerukunan desa kita hilang seketika” Pak Semar mengatur napasnya.
“Pertama-tama, saya ingatkan, siapa tahu ada yang lupa kalau ini hanya kontes menyanyi. Siapa pun yang menang, hidup kita tidak akan berubah. Kalian tetap harus bekerja di sawah dan ladang dan anak-anak kalian harus tetap sekolah. Jadi sebenarnya ini hanya kontes antara Bagong dan Petruk, bukan antar kalian. Mengerti?”
Para warga diam. Bambang mengacungkan tangan.
“Ya Bambang”
“Katanya Bagong akan datang ke desa kita dan mebuat konser gratis kalau menang, Pak. Itu kan berarti kita juga kena imbasnya” Bambang yang mendukung Bagong berargumen.
“Ah, pasti dananya disokong Cina. Jangan-jangan nanti kalau menang dia bawain lagu-lagu Cina di sini” Agus yang pernah berkelahi dengan Bambang mengejek, diikuti seruan “wuuuuu” dari para pendukung Petruk. Situasi di balai desa dalam satu detik menjadi hiruk pikuk. Johan, sekretaris Pak Semar memukul bedug tanda agar para warga diam.
“Baiklah. Saya tanya sekarang, sejak kapan kontes menyanyi ini diadakan?” Pak Semar bertanya setelah suasana kembali tenang.
“Sejak 5 tahun lalu, Pak. Sejak banyak warga yang memiliki televisi dan handphone jadi bisa mengirimkan sms” karena tak ada yang bersuara akhirnya Pak Rahmat, salah satu ketua kampung menjawab.
“Terimakasih Pak Rahmat” Pak Semar tersenyum. “Nah, adakah di antara kalian yang paham soal sejarah kontes ini? Sepertinya tidak, bukan? Ada di antara kalian yang minimal pernah mencoba mencari tahu sejarah kontes ini? Siapa yang membiayainya? Mengapa harus mengirim sms? Mengapa satu sms=satu suara dan bukan satu orang=satu suara? Kalau Bagong atau Petruk ingin menang, mereka harus mendekati orang-orang yang bisa mengirimkan sms banyak, toh? Bukan kalian, yang paling-paling hanya mengirimkan satu sms. Sejak kapan budaya kapitalis menjadi bagian dari identitas kita hingga diimplementasikan dalam segala bidang termasuk kontes menyanyi ini? Sistem kontes yang seperti apa yang sesuai dengan mental dan budaya kita? Mengapa suara juri tak menjadi hitungan? Bukankah para juri itu lebih paham soal nyanyi dan penyanyi yang baik? Ada yang tahu apa jawaban semua pertanyaan saya?”
Kali ini warga diam. Pak Rahmat pun terlihat ogah menjawab pertanyaan bertubi-tubi Pak Semar. Boleh jadi karena ia merasa ia tak pernah berkelahi karena kontes menyanyi atau mungkin juga karena tak tahu jawabannya.
“Tahu mengapa begitu banyak hal yang kalian tidak tahu tapi kalian dengan segenap jiwa raga mau melakukan apa saja demi idola kalian?”
Warga masih diam.
“Karena yang kalian pertentangkan itu bukan kontes menyanyi, bukan kemampuan atau latar belakang Bagong dan Petruk. Yang kalian pertentangkan adalah ego kalian masing-masing yang merasa senang kalau idola kalian “terlihat baik” dan merasa marah kalau yang lain yang “terlihat baik”. Padahal kedua-dua penyanyi itu adalah saudara kita sebangsa dan seagama. Mereka punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mbok ya biar mereka menyanyi, kita terus bekerja”
Paijo mengangkat tangan.
“Ya, Paijo”
“Saya setuju dengan kata-kata Bapak terakhir. Baik Bagong maupun Petruk adalah muslim dan saudara sebangsa. Jadi jangan bawa-bawa agama di kontes menyanyi ini” Paijo tampak masih sakit hati dikatai “munafik” oleh Pandir karena ia lebih menyukai Bagong daripada Petruk.
“Betuuulll” “Wuuuuuu” para pendukung Bagong kali ini bersuara riuh. Johan pun harus memukul bedug kembali.
Pak Semar melanjutkan: “Siapa pun idola kalian dengan alasan apapun itu adalah hak masing-masing. Jangan ada yang mengkait-kaitkan keimanan, keberpihakan pada Tuhan atau lain-lainnya hanya karena pemilihan idola. Tingkat keimanan dan ketakwaan ada di dalam hati dan hanya Allah yang boleh dan bisa menilainya. Kanjeng Nabi saja belum tentu bisa menilai ketakwaan orang, kalian malah saling tuduh soal kemunafikan dan kemusyrikan. Hati-hati karena Raqib dan Atid tidak pernah lupa mencatat dan fitnah terhadap sesama muslim jauh lebih besar dosanya daripada membunuh”
“Betuuuul, hidup Pak Semaaaarrr!!” pendukung Bagong tampak puas. Sebaliknya para pendukung Petruk merasa marah. Paiman yang sakit hati melihat senyum simpul di wajah Paijo berbisik pada Burhan “Para pendukung Bagong pasti sudah mendekati dan malah mungkin menyuap Pak Semar agar membela mereka. Pak Semar tidak netral, tidak layak lagi dia memimpin desa kita”. Kata-kata Paiman sebenarnya lebih didorong rasa marah dan tidak suka yang memuncak daripada logika, tapi karena situasi yang sudah panas tak satu pun bisa berpikir jernih soal pernyataan Paiman.
“Pak Semar, Bapak dibayar berapa sih oleh pendukung Bagong?” Burhan berteriak lantang diikuti teriakan “Wuuuu” dari pendukung Petruk.
“Tak ada yang membayar saya dan jangan coba-coba membayar-bayar. Saya sudah menetap di desa ini sejak 60 tahun, sejak lahir dan beleum pernah saya menyaksikan persatuan dan kerukunan warga bisa diobarak-abrik oleh sebuah kontes menyanyi. Ini kontes antara Bagong dan Petruk, jadi kita di desa ini tak perlu terlalu heboh memikirkannya. Kembalilah bekerja, kembalilah rukun, pilih idola kalian lalu lupakan. Saya melakukan ini hanya karena sayang luar biasa pada desa ini dan manusia di dalamnya…” Pak Semar sebenarnya masih melanjutkan kalimatnya namun tak ada yang bisa mendengarnya karena saat itu para pendukung Bagong dan Petruk sudah saling lempar buah, makanan, gelas, sendok dan apa pun yang ada di sekitarnya. Johan menarik tangan Pak Semar. Ibu-ibu dan anak-anak perempuan menjerit.
Awalnya ada yang melempar buah jambu ke arah Wawan, si pendukung Bagong. Lalu para pendukung Bagong mengartikan ini adalah isyarat untuk mulai berkelahi. Maka mereka pun melempar para pendukung Petruk dengan membabi buta. Yang dilempar tak tinggal diam, maka terjadilah apa yang harus terjadi. Desa Sumberwaras tidak lagi waras. Malam itu banyak kaum lelaki yang masuk bui dan banyak juga yang harus dilarikan ke rumah sakit.
Ternyata Desa Sumberwaras bukan satu-satunya desa yang diinapi penyakit kontes menyanyi nasional. Desa Lumbungijo, Desa Panir, Desa Sukarukun, Desa Melinggih dan banyak desa-desa lainnya ternyata memiliki permasalahan yang sama.
Sementara itu, puluhan hingga ratusan kilometer dari desa-desa bermasalah tersebut, Bagong dan Petruk ngeteh bersama di rumah Bagong yang berwarna putih dan besar. Mereka berjabat tangan, berpelukan dan tertawa bersama. “Siapa pun yang menang, kita akan saling menghargai” mereka berikrar.

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.13
JST 0.031
BTC 62133.38
ETH 2905.43
USDT 1.00
SBD 3.59