Menjadi hebat

in #indonesia6 years ago (edited)

Siapa yang tak mau menjadi orang hebat? Untuk dapat mencapai satu kata itu manusia berlomba setiap hari, mengeluarkan energi dan menghabiskan waktu yang dimilikinya agar layak mengantongi kata ‚hebat‘. Tak terkecuali tentunya dengan saya.
Seingat saya, sejak saya mulai bisa mengingat saya sudah ingin menjadi orang hebat. Hebat karena bisa menjadi pemenang dalam permainan estatak atau kasti, hebat karena bisa masuk sekolah tertentu dan semacamnya. Entah siapa yang mendoktrin saya, sejak dulu, hebat selalu saya artikan sebagai lebih unggul secara ego dari orang lain. Saya harus lebih bisa, lebih pandai, lebih dahulu, lebih banyak dan lebih lebih lainnya dari orang lain. Standar kehebatan yang saya gunakan adalah orang lain. Jika orang lain kalah, otomatis saya lebih hebat darinya. Sejak dulu saya menikmati kekalahan orang lain dan jujur hingga saat ini pun saya masih menikmatinya.
Saat saya menulis tulisan ini, standar kehebatan yang saya bangun sejak puluhan tahun itu mulai sedikit goyah. Memang belum runtuh berkeping-keping dan berganti dengan standar baru, namun saya mulai bertanya apakah saya cukup bijak membuat standar berdasarkan apa yang dimiliki orang lain. Apakah tidak lebih baik membangun standar hebat berdasarkan kebahagiaan? Atau mengapa harus hebat, apa yang bisa diraih dengan menjadi hebat?
Keraguan saya akan standar kehebatan yang hakiki ini muncul sejak saya bertemu beberapa orang yang menurut saya sangat inspiratif. Merekalah yang membuat saya tersentak sadar bahwa standar ‚hebat‘ yang saya bangun sangatlah kerdil dan egois. Yang menarik adalah keraguan saya akan standar kehebatan ini berawal sejak saya bertemu dengan orang-orang yang menurut standar kehebatan saya hanyalah orang biasa.
Orang-orang ‚biasa‘ ini sangat sederhana. Mereka tidak mengantongi gelar S3, tidak memiliki pendapatan tinggi standar Eropa, tidak sedang menjabat posisi penting atau aktifitas mencengangkan lainnya. Sangat jauh dari standar orang ‚hebat‘ yang saya tetapkan sejak dulu. Namun setiap kali melihat mereka, saya merasa malu luar biasa. Saya yang merupakan kandidat doktoral dengan sejuta cita-cita setelahnya ini merasa sangat kecil di hadapan mereka. Mereka lah yang mengajarkan saya makna ikhlas, membantu saya mengerti pengorbanan dan membuat saya meragukan standar hebat yang telah saya rancang sejak masih kanak-kanak dahulu.

fantasy-3077928_1920.jpg

Mereka yang sedang saya ceritakan ini adalah para istri dan suami yang mengikuti pasangannya untuk studi atau bekerja di Jerman ataupun Swiss. Dahulu saat saya masih menjadi mahasiswa master, saya tidak begitu paham dengan segala aktifitas para istri atau suami yang mengikuti pasangannya untuk tinggal di Eropa. Saya pikir mengurus rumah dan anak adalah pekerjaan mudah, tak menyita tenaga apalagi menguras pikiran. Mencari uang dan kuliah jauh lebih ‚menantang‘ dan ‚hebat‘ daripada aktifitas rumah tangga. Namun sejak menikah dan mengandung, saya mengerti bahwa apa yang saya pikir aktifitas ‚mudah‘, ‚tidak menantang‘ dan ‚tidak hebat‘ ini bukanlah pekerjaan main-main. Saya yang dahulu bebas pergi dan pulang sesuka hati, kini harus menyesuaikan diri dengan jadwal suami saya. Saya yang dahulu terbiasa membuat rencana sendiri baik untuk kuliah, organisasi atau berlibur, kini harus mencocokkan dengan time table ‚orang lain‘. Dan setelah hamil, saya pun harus lebih mengutamakan kesehatan calon bayi saya, bukan hanya keinginan pribadi. Awalnya saya sungguh frustrasi. Saya merasa sebagian hak saya direnggut. Saya menyesal tidak menyelesaikan S3 sebelum menikah. Saya bertanya dalam hati mengapa saya tidak menjalankan program KB selama tahun-tahun pertama pernikahan dan lain sebagainya. Namun demi melihat orang lain yang juga melakukan hal yang sama tanpa protes, saya pun belajar.
Saya belajar dari para istri yang rela tidak bekerja demi mengurus suami dan anak-anaknya, padahal ia juga memiliki pendidikan yang cukup. Saya memperhatikan para ibu rumah tangga yang memasak, mencuci baju, membersihkan rumah untuk keluarga mereka selama bertahun-tahun tanpa mengeluh. Saya mengenal seorang suami yang rela meninggalkan pekerjaan di Indonesia dan menjadi ‚penjaga anak‘ di Jerman hanya untuk dapat berkumpul dengan istrinya yang sedang melanjutkan studi.
Saya tidak dapat membayangkan jika saya di posisi mereka. Hanya beberapa waktu meninggalkan aktifitas doktor saja sudah membuat saya tersiksa luar biasa, bagaimana jika nanti saya harus meninggalkan semuanya demi keluarga?

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 62423.21
ETH 2897.82
USDT 1.00
SBD 3.56