Mesjid

in #indonesia5 years ago

Riyadhul jannah. Itu nama mesdjid di dekat rumah orang tua saya. Setiap hari di bulan Ramadan saya biasanya berkunjung ke sana. Bukan apa-apa. Orang tua saya sangat disiplin menerapkan jam malam. Jangankan keluar rumah di malam hari, pulang main menjelang maghrib saja saya akan dijejali pertanyaan bertubi-tubi yang membuat telinga sakit sampai kehilangan nafsu makan malam. Hanya di bulan Ramadhan saya diijinkan keluar rumah di malam hari untuk shalat taraweh di mesjid. Dan kesempatan itu tentu saya gunakan sebaik mungkin.

Awalnya saya hanya shalat taraweh di dua rakaat pertama (don’t tell my mom, please). Sisanya, bermain bersama teman-teman, mulai dari berlarian di sekeliling mesjid, bermain lilin atau pun kembang api. Terkadang kami “makan bekal bersama” di teras mesjid. Tentu terkadang ada jamaah yang protes karena kami tak bisa dikatakan “tidak ribut”. Tapi untunglah tak ada yang mengadukannya ke ibu saya. Setidaknya, saya belum pernah mendapat “ganjaran” karena berisik pada saat orang shalat taraweh. Saat saya mulai lancar menulis, sekolah menerapkan peraturan bahwa setiap siswa harus membuat catatan ceramah Ramadhan. Maka saya pun mulai harus berkonsentrasi, setidaknya saat ustad berceramah dan setidaknya sampai buku Ramadhan saya penuh dengan tulisan. Sedikit besar lagi, saya diwajibkan menghafal surat-surat pendek dari MDA. Karena malas menghafalkannya sendiri, maka saya memilih ikut shalat taraweh lalu mendengarkan imam membaca surat-surat pendek. Dulu otak saya mungkin masih cerah, maka banyak surat pendek yang saya hafalkan dengan cara “mendengarkan imam” pada saat shalat taraweh.

Maka bagi saya, Riyadhul Jannah bukanlah tempat beribadah. Ia adalah tempat saya bermain, bercanda, berbagi tawa dengan teman, belajar merangkum ceramah dan menghafalkan surat-surat pendek.

Saya masuk pesantren Babussalam saat SMP. Mesjid Darussalam adalah mesjid yang berdiri megah di kawasan pesantren. Para santri diwajibkan mengerjakan shalat fardhu di sana. Maka mulailah saya mengidentifikasikan mesjid sebagai tempat ibadah. Namun aktivitas santri di mesjid bukan hanya shalat. Setelah maghrib, dilakukan pembacaan asmaul husna bersama. Di telinga saya asmaul husna itu sangat romantis, apalagi jika dilagukan dengan nadanya yang pelan dan mendayu-dayu. Saya mulai belajar bahwa mesjid juga tempat mengekspresikan rasa dalam bentuk seni dan budaya. Setelah membaca asmaul husna, biasanya santri harus membaca Al-Quràn sendiri-sendiri atau pada malam Jumat membaca Yaasin bersama hingga masuk waktu Isya. Dengan demikian, saya belajar bahwa mesjid adalah tempat mendalami Al-Quràn. Di malam minggu, acara sesudah maghrib bebas. Beberapa santri akan berkumpul dan berbincang bersama, ada yang pelan-pelan namun pasti duduk di sekitar tempat wudhu santriwan lalu saling bertukar kertas dengan mereka yang juga duduk di seberang sana (what do you expect from some 13-14 year olds? And to be fair, we were all once young and stupid, werent we?) atau saling curhat dengan intensitas yang tentu tak perlu dipertanyakan. Saya menghayati bahwa mesjid bukan hanya tempat menumpahkan tawa namun juga mengadukan duka.

Dulu, saya suka sekali jika saat shalat maghrib atau isya di Darussalam lampu tiba-tiba mati. Karena dalam gelap, saya akan mencoba mengkonsentrasikan indra saya pada pendengaran. Maka saat zikir dimulai, tubuh saya pun mulai bergidik. Di Darussalam, zikir tak dilakukan hanya di dalam hati namun disuarakan sehingga semua orang di sekitarmu dapat mendengarnya dengan jelas. Saat imam mulai membaca "afdholul dzikri fa'lam annahu laa ilaaha illallah", seluruh tubuh saya meremang. Takut, sedih, haru. Saat suara ratusan santri mengumandangkan “laa illaha illallah” yang kemudian bergema di mesjid megah itu, tak jarang mata saya menjadi panas. Takut, sedih, haru. Usia saya saat itu 12 atau 13 tahun, kelas 1 SMP. Saya sudah sering shalat, berkali-kali membaca syahadat, namun jika saya mengenang semuanya, saya rasa itulah kalimat tauhid pertama saya. Kalimat yang tidak hanya saya ucapkan dengan lidah namun juga dihayati dan diakui oleh segenap anggota tubuh hingga ke seluruh titik urat nadi saya. Takut, sedih, haru yang melahirkan cinta luar biasa. Di mesjid, untuk pertama kali saya mengalami keindahan tanpa melihat. Mengalami rasa yang bergejolak tanpa berurusan dengan manusia. Saya yang hanya berasal dari kombinasi sperma dan ovum ini diperkenankan bertegur sapa dan bermesraan dengan Sang Pemilik Jagad. Takut, sedih, haru, yang melahirkan gembira dan syukur yang tak terbendung. Dan semua itu terjadi di mesjid.

Sayang sekali, Riyadhul Jannah dan Darussalam hanya ada di Pekanbaru. Jika saja saya bisa memindahkannya ke Bamberg seperti ahli kitab pada zaman Nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Balqis, maka saya tak perlu bercerita terlalu banyak tentang mesjid pada Arya. Saya tak perlu bercerita bahwa mesjid bukan hanya tempat ibadah, namun juga tempat melepaskan tawa dan berkeluh kesah. Ia juga tempat mengekspresikan budaya dan kebudayaan, tempat menjadi manusia dan kemanusiaan, tempat bercinta dan memahami hakikat kehidupan. Jika saja Riyadhul Jannah dan Darussalam ada di Bamberg, tak perlu saya kesulitan menjabarkan pada anak 6 tahun itu bahwa mesjid bukan hanya tempat ibadah namun juga bagian penting dari kehidupan itu sendiri. Buat apa diceritakan, jika dia bisa mengalaminya sendiri?

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 62737.73
ETH 2925.66
USDT 1.00
SBD 3.50