Statistik, Kesabaran dan Nasi Padang

Statistik tidak mengklaim kebenaran, ia hanya menghitung seberapa mungkin sebuah asumsi menjadi realitas. Katakanlah kita berasumsi bahwa Bagong mengalahkan Petruk dalam kontestasi Pilpres. Maka statistik menghitung seberapa mungkin hipotesis di atas benar. Karena dalam setiap pengukuran pasti terdapat kesalahan, maka ilmu sosial biasanya menetapkan standar berapa persen kesalahan pengambilan keputusan bisa ditoleransi. Kelompok frekuentis (yang kemudian dikritik habis-habisan oleh Bayes theorem tapi untuk artikel ini tidak memungkinkan untuk dibahas) secara konsensus menganggap 5% (p<.05) adalah cut-score dimana kesalahan membenarkan hipotesis yang "sebenarnya" salah dapat diabaikan karena kecilnya "kemungkinan" kesalahan tersebut.

Maka jika dewan etik dari lembaga survei dengan mantap mengatakan bahwa persentasi kesalahan dari hasil quick count Pemilu adalah 1%, dalam logika kaum frekuentis, jika quick count diulang 100 kali, maka Bagong mengalahkan Petruk 99 kali dan Petruk menang terhadap Bagong 1 kali. Tapi karena 1 kali ini sangat kecil kemungkinannya, maka secara statistik dapat diabaikan. Demikianlah, jika ada yang bertanya apakah saya percaya hasil quick count, maka tentu saya harus percaya, sebesar kepercayaan saya masih ada setidaknya 1% (kalau tidak 5%) kemungkinan bahwa Petruk mengalahkan Bagong.

Ah tapi kan quick count itu tidak mengikat. Ia hanya pengejawantahan dari nafsu manusia mengintip masa depan. Kasarnya, statistik itu hanya bentuk kreatifitas manusia dalam membuktikan betapa tidak setianya ia terhadap waktu. Kan benar kata Al-Quràn bahwa manusia itu diciptakan bersifat tergesa-gesa. Apa yang harusnya diketahui bulan depan, bisa diprediksi saat ini. Namun karena semua di dunia ini paradoks, tentu pengetahuan tentang masa depan itu tidak hanya membuahkan suka cita namun juga duka kalau tidak amarah luar biasa. Kan tidak mungkin seorang yang sudah bekerja mati-matian kau minta bersuka ria saat ia melihat angka-angka statistik memprediksikan kegagalannya. Lalu apanya yang luar biasa? Ini kan pesta demokrasi biasa, pemilihan yang 5 tahun lagi juga diharapkan kembali ada. Siapa pun yang menang, 5 tahun lagi harus diganti. Siapa pun yang kalah, 5 tahun lagi bisa mencalonkan kembali. Lalu apanya yang luar biasa?

Kan tak perlu juga nasi padang menjadi korban statistik. Jika statistik, kesabaran dan nasi padang dijajarkan, maka yang memiliki realitas paling tinggi tentu adalah nasi padang. Ia bukan lagi berbicara kemungkinan atau terbang ke awan mencoba mencari interpretasi wahyu Tuhan. Ia ada di depan mata (mata kalian di Indonesia! huh!), diolah dengan cekatan oleh mereka yang mungkin saja memilih Bagong atau Petruk atau tidak kedua-duanya. Di Den Haag, banyak manusia putih menjajakan rendang. Di luar negeri hanya ada 2 hal yang mempersatukan manusia Indonesia: Pancasila dan nasi padang. Kan tidak mungkin memboikot persatuan hanya karena statistik! Logika macam apa itu? Lalu mengapa yang dianggap luar biasa adalah Pemilu nya, padahal yang sangat jelas luar biasa adalah nasi padang?