Agama Samawi: Satu Leluhur Tiga Agama

in #islam6 years ago (edited)

Konflik Berdarah

Istilah agama samawi merujuk pada tiga agama besar dunia yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Sejarah mencatat hubungan antar umat agama ini tidak selalu harmonis bahkan sering disertai konflik berdarah. Kita dapat menyusun daftar panjang konflik berdarah antar umat agama samawi tetapi lima kasus berikut ini agaknya memadai sebagai ilustrasi:

  1. Pembantaian komunitas Yahudi dan Muslim di Yerusalem ketika aliansi Pasukan Salib merebut Kota Yerusalem pada akhir abad ke-11;

  2. Pengusiran komunitas muslim dan pemaksaan pindah agama bagi komunitas Yahudi di sekitar Teluk Iberia pasca kekalahan penguasa sisa Imperium Umayah di kawasan itu pada abad ke-15;

  3. Perlakuan buruk terhadap komunitas Yahudi di Eropa (Kristen) yang mencapai puncaknya pada peristiwa Holocaust pertengahan abad 20;

  4. Konflik kekerasan-berdarah dan permusuhan di Palestina yang sampai kini masih berlangsung antara komunitas Muslim-Kristen Palestina di satu sisi dengan pihak Yahudi (tepatnya pemerintah Israel) di sisi lain, tanpa prospek penyelesaian yang jelas; dan

  5. Permusuhan oleh para ekstremis dari sebagian kecil komunitas Muslim (mayoritas) terhadap komunitas non-muslim (minoritas) di beberapa kawasan Timur-Tengah dan Afrika Utara (MENA: Midlle East and North Africa), walaupun sifatnya sporadis dan dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan konflik 1-4.

Kenapa konflik berdarah itu sampai terjadi? Banyak kajian sejarah yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Walaupun demikian, dalam analisis terakhir agaknya kita harus “menyerah” (Arab: aslama, akar kata dari Islam) dengan mengatakan bahwa semua itu terjadi karena kehendak Tuhan SWT yang kebijaksanaan-Nya sering kali tidak dapat kita jangkau secara nalar. Jawaban yang bernada fatalistik semacam itu tentu tidak memuaskan bagi kita yang terlanjur “ter-baratkan” (westernized) dan hal ini sah-sah saja bagi makhluk yang mampu dan suka “bertanya”.

Secara normatif, konflik semacam ini mestinya tidak terjadi bagi agama-agama samawi yang memiliki leluhur yang sama yaitu Ibrahim AS: semua pembawa agama samawi --Musa untuk Yahudi, Isa Ibu Maryam untuk Nasrani dan Muhammad SAW untuk Islam--- adalah keturunan Ibrahim AS. Nabi besar ini bergelar Bapak Para Nabi dan gelar itu tepat karena semua rasul pasca era Nuh AS yang namanya disebut dalam Al-Quran semuanya keturunan Ibrahim SAW kecuali Soleh AS, Hud AS dan Luth AS. Musa AS dan Isa AS adalah keturunan Ibrahim AS melalui jalur Ishaq, Muhammad SAW melalui jalur Ismail AS.

Warisan Ibrahim AS

Bapak Para Nabi ini mewariskan tidak hanya garis keturunan secara genealogis tetapi juga inti ajaran agama yang berbasis keesaan Tuhan. Argumentasi mengenai hal ini dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Quran antara lain:

  1. Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya (42:13);

  2. (Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim) “berserah-dirilah! (Arab: aslim), Dia menjawab “Aku berserah diri (Arab: aslamtu) kepada Tuhan seluruh Alam (2:131);

  3. Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’kub, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kemu mati kecuali dalam keadaan muslim (Arab: muslimun)” (2:132);

  4. Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’kub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab’ Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, smail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya berserah diri kepada-Nya; dan

  5. Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang apa yang mereka kerjakan (2:134; juga 2: 141).

Kutipan ayat pertama menegaskan kesamaan inti ajaran agama-agama samawi sejak Nuh AS; kutipan yang ke 2 s/d 4 menegaskan Islam sebagai nama agama Ibrahim AS serta keturunan-keturunannya, baik yang melalui jalur Ishak AS (Yahudi dan Nasrani), maupun Ismail AS (Islam). Jelasnya, Islam dalam narasi Al-Quran, sangat inklusif karena tidak hanya mencakup ajaran yang dibawa Muhammad SAW (Islam dalam pengertian populer). Dalam konteks ini tampaknya patut disisipkan di sini karakterisasi Al-Quran mengenai ahli Kitab:

Mereka tidak seluruhnya sama. Di antara Ahli Kitab ada golongan yang jujur, mereka membaca atyat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud (salat). Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebaikan. Mereka termasuk orang-orang yang saleh. Dan kebajikan apa pun yang mereka kerjakan, tidak ada yang mengingkarinya. Dan Allah maha mengetahui orang-orang yang bertakwa (3:113-115).

Sekalipun memiliki inti ajaran yang sama, Agama Yahudi, Nasrani dan Islam jelas memiliki bentuk, rumusan teologis mengenai ketuhanan, sejarah keumatan, serta siklus pewahyuan yang berbeda. Tetapi juga jelas wisdom qurani --kebijaksanaan berbasis ayat Al-Quran—bahwa perbedaan itu bukan “bukan urusan kita” sebagai umat sebagaimana tersirat dalam kutipan nomor lima di atas (2:134). Ayat ini tampaknya sedemikian penting sehingga diulang dengan redaksi yang persis sama dalam (2:141). Yang juga jelas adalah wisdom qurani yang menegaskan “tidak ada paksaan dalam agama” (2:256).

Wisdom qurani dengan nada serupa dapat ditemkan dalam ayat lain yang pada intinya berupa ajakan agar umat agama samawi lebih mengetengahkan kesamaan antar mereka (Arab: kalimatun sawa), bukan meruncingkan perbedaan:

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan kita selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka) “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim” (3:64).

10 Perintah Tuhan

Kutipan ayat terakhir adalah mengenai ajaran Tauhid atau Keesaan Tuhan, suatu ajaran yang juga ditemukan dalam 10 Perintah Tuhan (Ten Commandments, TC). TC ini patut dikemukakan sebagai pijakan bersama antar umat agama-agama samawi. Alasannya, penganut Yahudi dan Nasrani sama-sama mengakui TC sebagai adalah ajaran keagamaan yang sangat penting sekalipun memiliki sedikit perbedaan dalam hal redaksionalnya. Lebih dari itu, semua butir TC memiliki dasar qurani dalam arti tercantum tercantum dalam ayat Al-Quran sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Satu-satunya butir TC yang tidak tercantum dalam Al-Quran adalah nomor 3 mengenai hari suci (Sabath) yang agaknya dikhususkan bagi Yahudi. Berbeda dengan dua agama samawi lainnya, Islam tidak mengenal hari libur. Islam memaknai Hari Jumat sebagai hari besar (Arab: sayyidul ayyam) tetapi tidak sebagai hari libur. Teks suci (62:10) bahkan memerintahkan muslim yang mengikuti salat Jumat untuk “bersegera mencari karunia Tuhan “, alias berbisnis.

Umat Agama Samawi dan Trisila

Jika kita boleh mengambil analogi Pancasila, maka Butir 1-2 dari TC tampaknya dapat dikategorikan sebagai Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa Berdasarkan Kebenaran Metafisis Tauhid. Delapan butir lainnya (kecuali Butir 3) terkait dengan isu-isu hak-hak dasar individu dan perilaku kemanusiaan yang beradab sehingga dapat dianalogikan dengan Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bagi Kemanusiaan Beyond Umat Agama-agama Samawi. Fakta bahwa semua nabi pembawa agama samawi memiliki kesatuan leluhur dapat dianalogikan degan Sila Ketiga, Persatuan Umat Agama Samawi dalam Menghadapi Masalah Global. Singkatnya, umat agama samawi memiliki Trisila yang dapat dijadikan pijakan bersama untuk membangun hubungan-bermartabat antar umat dan kerja sama-produktif bagi kemanusiaan. Dengan semangat ini, sumbangan umat dalam arena internasional merupakan bagian dari pemecahan masalah global, bukan sebagai sumber permasalahan global. Inilah obsesi penulis dan penulis yakin tidak sendirian....@!

ten_com100.png

Sort:  

Ternyata kita begitu dekat, kenyataan dalam kehidupan sehari hari terkondisi begitu jauh. Kesadaran yang mendalam akan hal ini akan membuka ruang komunikasi dan interaksi antara jiwa jiwa. Spiritualitas yang dewasa memungkinkan kita untuk kreatif dan inovatif menjadikan perbedaan sebagai kekayaan bukan sebagai benih perpecahan apalagi konflik. Terimakasih buat sharing yang bermakna ini...

Tkb responnya yang sarat makna. Bagi saya, determinasi dan kegigihan dlm mencapai tujuan ala Yahudi, kasih dan kesiapan-berkorban dalam memperjuangkan keyakinan khas Nasrani , dan kepekaan dan disiplin dalam menjaga moralitas masyarakat gaya Islam, jika dipadukan, dapat menyalakan energi dahsyat untuk membangun tatanan masyarakat global yang maju, humanis, aman dan tertib.

Upaya menumbuhkan kesadaran, toleransi, komunikasi dan interaksi serta dialog yang jujur dalam masyarakat sering terdistorsi oleh kepentingan politik untuk memperebutkan kekuasaan sesaat dengan mengorbankan persatuan dalam keragaman yang sejatinya memang harus diterima sebagaimana adanya. Perlu lebih banyak lagi kaum cerdik pandai yang menyuarakan suara suara keragaman agar hidup damai dalam keperbagaian. Begitu pandangan saya Pak..Bergerak bersama dalam semangat kolektivitas akan lebih kuat dampaknya dalam mempropagasi nilai nilai hidup damai dalam keberagaman ini.

Coin Marketplace

STEEM 0.27
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 64453.46
ETH 2971.59
USDT 1.00
SBD 3.59