When the Task of Journalists is Replaced by the Machine: Cybernetic Newsroom | Tatkala Tugas Jurnalis Digantikan Mesin |

in #journalism6 years ago (edited)



Maybe this includes bad news for the journalism profession? Will this profession last 10 or 20 years later? It may or may not, but when the creativity of journalists declines, it is not impossible that many of the tasks will be taken over by the machine. The job of seeking information, processing, and presenting to consumers, is no longer entirely the result of human work. The role of journalists cannot be replaced by robots, but with artificial intelligence or artificial intelligence, human intervention is diminishing.

So far, the results of artificial intelligence are only to help journalists to work more easily, can present news faster, with complete data and accurate. In the end, the robot cannot edit the news in a language that is more easily understood by humans. Journalists are the ones who enter the language, assess the quality of the news, ask questions, understand the context, choose diction, edit, and then approve the news that will be aired.

That's what happened when Angeles Times became the media that first reported a shallow earthquake measuring 4.7 on the Richter scale that occurred about six miles from Beverly Hills, California. The data cited by the United State Geological Survey (USGS), was presented as a complete news once the time happened and the system at USGS noted. The text in English was compiled by Quakebot, a system of algorithms programmed by journalists. As reported Indonesian daily by Kompas 9 September 2018, journalists can choose to present the news, put the news as headlines, and edit it to ensure the system works correctly so that the language meets journalism standardization.


LA Time_12_12_12.jpg


Reuters news agency even went further by building cybernetics newsrooms that combine engine excellence and human intelligence. Machines that can work quickly and tirelessly to produce high volumes of work, combined with human intelligence that understands the context and value of news.

The cybernetic newsroom will probably become a trend in the future, not least for the media in Indonesia. If journalists in Indonesia only work by relying on minimalist abilities like only understanding 5 W + 1 H, the task will be replaced by the machine. With the existence of social media, such information can also be presented by anyone even if it does not meet journalistic standards because there is no balance, confirmation, and ignoring the code of ethics. With the media competition being so sharp lately, the presence of cybernetics in all mass media is a necessity.[]


LA Times.jpg




Ketika Tugas Jurnalis Digantikan Mesin: Cybernatic Newsroom

Barangkali ini termasuk kabar buruk bagi profesi jurnalis? Apakah profesi ini akan tetap bertahan sampai 10 atau 20 tahun yang akan datang? Bisa jadi tidak, tetapi ketika kreativitas jurnalis menurun, bukan tak mungkin banyak tugasnya diambil alih oleh mesin. Pekerjaan mencari informasi, mengolah, dan menyajikan kepada konsumen, sudah bukan lagi sepenuhnya hasil kerja manusia. Peran jurnalis memang tidak bisa semuanya digantikan robot, tetapi dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence, campur tangan manusia semakin berkurang.

Sejauh ini, hasil dari kecerdasan buatan itu hanya untuk membantu jurnalis agar lebih mudah bekerja, bisa menyajikan berita lebih cepat, dengan data yang lengkap dann akurat. Pada akhirnya, robot tidak bisa mengedit berita dengan bahasa yang lebih mudah dipahami manusia. Jurnalislah yang memasukkan bahasa tersebut, menilai kualitas berita, mengajukan pertanyaan, memahami konteks, memilih diksi, editing, sampai kemudian menyetujui berita yang akan ditayangkan.

Begitulah yang terjadi ketika Los Angeles Times menjadi media yang pertama kali memberitakan gempa dangkal berkekuatan 4,7 skala Richter yang terjadi sekitar enam mil dari Beverly Hills, California. Data yang dikutip United State Geological Survey (USGS) itu, disajikan sudah menjadi sebuah berita lengkap begitu gempat terjadi dan sistem pada USGS mencatat. Teks dalam bahasa Inggris tersebut disusun oleh Quakebot, sebuah sistem algoritma yang deprogram oleh jurnalis. Seperti diberitakan kembali oleh Kompas 9 September 2018, jurnalis bisa memilih untuk menyajikan berita itu, menempatkan berita itu sebagai berita utama, dan mengeditnya untuk memastikan sistem bekerja dengan benar sehingga bahasanya memenuhi standarisasi jurnalisme.

Kantor berita Reuters bahkan melangkah lebih maju dengan membangun ruang berita sibernetik atau cybernetic newsroom yang menggabungkan keunggulan mesin dan kecerdasan manusia. Mesin yang bisa bekerja dengan cepat dan tanpa lelah sehingga menghasilkan volume kerja yang tinggi, digabungkan dengan kecerdasan manusia yang memahami konteks serta nilai berita.

Ruang berita sibernatik barangkali akan menjadi tren di masa mendatang, tak terkecuali bagi media di Indonesia. Kalau wartawan di Indonesia hanya bekerja dengan mengandalkan kemampuan minimalis seperti hanya memahami 5 W + 1 H semata, akan tugasnya itu sudah tergantikan mesin. Dengan keberadaan sosial media, informasi seperti itu juga bisa disajikan siapa saja meski belum memenuhi standar jurnalistik karena tidak ada keberimbangan, konfirmasi, serta mengabaikan kode etik. Dengan persaingan media yang demikian tajam belakangan ini, keberadaan ruang berita sibernetik di semua media massa merupakan sebuah keniscayaan.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Barangkali kolaborasi robot dan manusia adalah masa depan media yang mumpuni dan merupakan hal terberi yang tak bisa ditolak dalam hidup. Tetapi insting manusia tetap yang mengatur tempo, presisi dan ke-humanisme-an sebuah berita.. Mungkin Bang @ayijufridar memikirkan hal serupa.. :)

Peran robot hanya untuk membantu manusia, jangan sampai membuat manusia malah menjadi robot. Peran manusia tetap dibutuhkan, termasuk dalam ruang berita sibernetik, sebuah teknologi yang hanya kita dengar namanya saja, tetapi bukan tidak mungkin nanti akan masuk ke Indonesia. Saya membayangkan betapa jauhnya kita tertinggal...

Benar, Bang. Kita sudah tertinggal berkilo-kilo cahaya dari negara lain... Semoga bisa terpangkas jarak itu..

Jangan lagi gunakan istilah mengejar ketinggalan, tetapi mengejar kemajuan.

Hehe.. Siap salah, Bang @ayijufridar.. Mengejar kemajuan. Betul juga ya. Mana ada guna mengejar ketertinggalan.. I see.. I see.. 😂

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.13
JST 0.033
BTC 63252.23
ETH 3035.50
USDT 1.00
SBD 3.73