Puasa Tanpa (Pretensi) Pahala

in #life6 years ago

Ibadah menjadi sangat politis. Orang berpuasa karena memburu pahala. Berbuat baik dan beribah karena ada kepentingan di balik itu yakni pahala.

image

Ilustrasi: [Pixabay]](https://pixabay.com/en/girl-pray-religion-portrait-3404847/)

Oleh: Mustafa Ismail,
pegiat kebudayaan

Ibadah, sudah sangat dipahami, akan berkonsekwensi pahala. Tak ada ibadah yang tak mendapat ganjaran pahala. Banyak orang beribadah untuk mendapatkan pahala. Semua khutbah dan ceramah agama tak pernah lupa menyinggung soal pahala. Bahkan, tak hanya pahala, tapi juga surga-neraka. Orang yang beribadah (bertaqwa) akan mendapatkan pahala dan nanti akan masuk surga. Yang tidak bertaqwa akan masuk neraka.

Pahala, surga dan neraka menjadi kosa kata yang paling sering diucapkan oleh para pemuka dan pensyiar agama. Tidak hanya dalam konteks ibadah (formal), juga perilaku-perilaku lainnya juga selalu dikaitkan dengan pahala, surga-neraka. Ajakan berbuat baik selalu diimingi dengan pahala dan surga dan yang tidak berbuat baik akan dibakar dalam api neraka. Sampai-sampai ada istilah tiket menuju surga.

Misalnya, sebuah lembaga penyantun anak yatim memasang besar-besar tulisan di mobilnya bahwa menyantuni mereka adalah “tiket menuju surga.” Pesannya pun sangat dipahami oleh orang yang membaca pesan itu: mari berlomba-lomba menyumbang untuk anak yatim. Jika tidak menyumbang sama saja dengan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapat tiket masuk surga. Sebab, tidak mudah mendapat tiket ke sana.

Sebelumnya, orang memang sudah mendapat gambaran imajinatif seperti apa surga itu: tempat yang serba enak, penuh bidadari, tempat kebahagiaan paling kekal, dan hal-hal menggiurkan lainnya. Sudah pasti semua orang suka masuk surga. Maka, boleh jadi, banyak orang akan merespon tagline “tiket menuju surga” dengan antusias lalu berbuat baik mati-matian demi memperoleh tiket itu.

Sekilas, tidak ada masalah dengan iming-iming pahala-surga-neraka ini. Namun, sebetulnya ini adalah upaya menyederhanakan persoalan ibadah dan berbuat baik. Orang diombang-ambingkan dalam imajinasi “sloganistik”. Slogan lebih berperan ketimbang tujuan dari ibadah dan berbuat baik itu sendiri. Pahala berlipat ganda dan surga (yang diteriakkan ustad di mimbar dan televisi) lebih “menyihir” daripada beribadah dan berbuat baik itu sendiri.

Manusia seperti dirasuki kesadaran kebendaan (materialisme), yang mengukur sesuatu dengan realitas kebendaan. Benda dalam hal ini tidak harus benda fisik, tapi bisa pula benda nonfisik, bahkan benda imajinatif. Ini menyebabkan kesadaran kritisnya tumpul. Yang menguasi kesadaran adalah realitas baru yang lebih imajinatif, yang memberi harapan tertentu di kemudian hari.

Motto hidup “kebahagiaan di dunia dan akhirat” makin memperkuat imajinasi ini.Surga, sebagai representasi dari kebahagiaan akhirat, menjadi acuan orang berbuat baik. Segala hal akan dilakukan demi mencapai “kebahagiaan akhirat” itu. Tak jarang, orang rela melakukan kegiatan yang menegasikan nalar dan sifat-sifat kebaikan sendiri. Lihat, misalnya, gerakan kelompok yang melakukan kekerasan atau penyerangan dengan mengatasnamakan agama.

Akibatnya kebaikan pun menjadi sangat relatif. Masing-masing orang dan pihak punya standar kebaikan sendiri. Mereka melupakan bahwa langkah melakukan kebaikan juga harus baik. Dengan kata lain,dalam perspektif umum, kebaikan yang dilakukan dengan cara-cara tak terpuji tentulah bukan esensi dari kebaikan. Laku premanisme, atas nama apa pun, tidak bisa dilabelkan sebagai kebaikan.

Premanisme bukan hanya menabrak hukum negara, juga mengangkangi prinsip agama. Dalam Islam, misalnya, disebutkan “Islam adalah rahmat bagi seluruh alam”, rahmatan lil 'alamin. Laku premanisme atas nama agama bukanlah rahmat bagi orang lain. Sehingga perilaku semacam itu lebih berdimensi politis – misalnya bagian dari pernyataan eksitensi diri – ketimbang dimensi kebaikan, apalagi ibadah.

Lebih jauh, bukan tak mungkin pula materialisme juga bermain dalam laku premanisme ini. Ada kepentingan-kepentingan kebendaan di balik laku itu atau di balik pernyataan eksistensi ini. Jadi, secara semiotik, laku-laku semacam ini sangat kaya makna. Apa yang dilakukan seseorang adalah statement-statement simbolik. Kesadaran dibentuk oleh simbol-simbol atau benda-benda yang menyuarakan kepentingan-kepentingan.

Sebagai refleksi dari kesadaran kebendaan, pretensi lebih mendominasi dalam laku seseorang ketimbang atensi. Apa yang didapatkan dari laku itu lebih penting dari pada laku itu sendiri. Hasil lebih penting daripada proses. Maka beribadah dan berbuat baik pun didahului pra-syarat. Verbalnya begini: saya mau puasa kalau ada pahalanya. Sebab pahala sangat penting buat saya sebagai tiket masuk surga.

image

Ilustradi: [Pixabay](https://pixabay.com/en/masjid-nabawi-masjid-madinah-medina-2404477/l

Ibadah pun menjadi sangat politis. Orang berbuat baik dan beribah karena ada kepentingan di balik itu yakni pahala. Orang jadi lupa makna dan tujuan sebenarnya dari ibadah dan berbuat baik itu. Seharusnya, orang beribadah sebagai bentuk bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada pahala atau tidak ada pahala, orang perlu menunjukkan bakti dan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Ibadah adalah keniscayaan seorang hamba, bukan kewajiban bersifa politis.

Adapun berbuat baik juga keniscayaan seorang manusia untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi orang/pihak lain. Ia harus muncul dari kesadaran yang sangat personal, bukan karena slogan-slogan agama, apalagi kepentingan-kepentingan lain di balik itu. Maka jika seseorang menyumbang anak yatim itu adalah bentuk kepedulian dan tanggungjawab sosialnya, bukan karena ia berharap pahala, apalagi demi “membeli” tiket ke surga.

Pretensi-pretensi semacam pahala dan surga justru membuat ibadah dan kebaikan itu menjadi tidak tulus. Makna dan kualitasnya menjadi terdegradasi. Tentulah manusia tidak sedang “hitung-hitungan” dengan Tuhan: kita melakukan apa, lalu Tuhan memberi apa. Terminologi take and give itu semestinya hanya ada dalam jagad politik dan bisnis, tidak dalam relasi sosial (hablul minannas) dan relasi manusia dengan Tuhan (hablul minallah). Kedua relasi itu haruslah berjalan tanpa pretensi apa pun.

Tanpa pahala dan embel-embel tiket ke surga pun, manusia tetap punya kewajiban untuk beribadah dan berbuat baik. Kehidupan, apalagi ditambah kebahagiaan, adalah bentuk nyata peran Tuhan dalam eksistensi manusia. Tidak seorang pun yang bisa mengingkari itu. Tanpa Pencipta yang ada adalah ketiadaan. Jadi, selamat melanjutkan puasa -- tanpa berpretensi pahala. [*]

Tulisan ini pernah dimuat di halaman opini Koran Tempo, 27 Juli 2013.

image

Sort:  

Berpuasa ramadhan hukumnya wajib oleh sebab itu kadang imam setelah doa witir akan mfmbimbing jamaahnya untuk melafalkan niat puasa. Ini sangat mfnarik dalam pandangan saya yakni mengingatkan yang lupa dan tambahan pengetahuan bagi yang blm tahu

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64341.19
ETH 3145.13
USDT 1.00
SBD 4.00