Inilah Banda Aceh, Nak! Tempat Tinggalmu

in #lombablog5 years ago (edited)


Menjelajahi Kota Banda Aceh tidak hanya membuat mata kita terbuka akan kayanya peningalan sejarah namun juga menawarkan banyak objek wisata yang ramah untuk anak dan keluarga mulai dari wisata tsunami hingga wisata kuliner yang lezat.


***


Hari menjelang siang ketika saya mengajak putri saya, Naqiya (4 tahun), jalan-jalan menelesuri setiap sudut kota tua nan bersejarah yang berulang tahun ke 814 pada 22 April 2019. Bukan perkara sulit mengajak balita menjelajahi Kota Banda Aceh karena hampir semua tempat wisata yang ada di sana sangat ramah bagi anak-anak. Kriteria destinasi wisata ramah anak yang meliputi keamanan, keselamatan, layanan, dan kepatuhan dengan mudah dijumpai di hampir setiap tempat wisata di Banda Aceh.
Mesjid Raya Baiturrahman menjadi destinasi pertama perjalanan kami hari itu. Syukurnya, matahari yang biasanya begitu terik tampak sedikit redup. Setelah memarkirkan sepeda motor di basement mesjid, kami pun menuju halaman mesjid kebanggaan rakyat Aceh itu. Payung raksasa yang biasanya tertutup, kali ini terbuka lebar. Tidak hanya satu, melainkan semua payung di selasar mesjid menjadi peneduh di siang itu. Tentu, pemandangan ini semakin memperelok mesjid yang menjadi landmark Kota Banda Aceh.

mesjid raya baiturrahman
Naqiya di depan Mesjid Raya Baiturrahman

Naqiya dan balita lain tampak begitu menikmati halaman mesjid yang telah berbalut granit abu-abu itu dan beratapkan payung besar berwarna putih dan bergaris kuning. Mereka berlari ke sana kemari dengan wajah penuh suka cita. Sementara para orang tua kebanyakan memilih duduk selonjoran sambil bersandar pada tiang beton tempat payung tersemat. Para muda-mudi terlihat sibuk berswafoto berlatarkan mesjid, payung, atau menara mesjid yang menjulang tinggi.


“Naqiya, Mamak mau menceritakan sebuah kisah tentang Mesjid Raya. Naqiya mau dengar?” tanyaku pada anak gadisku yang sudah berhenti berlarian dan kini duduk di sampingku.
Dengan cepat ia mengangguk. Kalau mendengar kata “cerita” wajahnya langsung sumringah dan bersemangat.
“Mesjid Raya ini dibangun sudah lama sekali, lho. Tepatnya pada masa Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh yang sangat terkenal pada masa itu."
"Raja? Kok kayak di cerita-cerita sih, Mak?" selanya
"Di Banda Aceh dulu ada juga raja, ratu, putri, dan pangeran seperti yang sering Naqiya tonton di TV atau mendengar bacaan dongeng dari Mamak.”
“Kayak Princess Sofia gitu ya, Mak?”
“Kalau Princess Sofia kan hanya film, kalau Kerajaan Aceh itu benar-benar ada.”
Naqiya ber-o panjang seakan ia paham akan penjelasanku.
“Lalu tiba-tiba datang penjahat ke Kerajaan Aceh ini. Penjahat itu disebut penjajah, mereka berasal dari negara Belanda. Penjajah itu lalu membakar Mesjid Raya. Lalu mereka menyesal dan meminta maaf. Sebagai gantinya Belanda membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman ini. Dan Naqiya tahu, kalau waktu gempa bumi dan tsunami menghancurkan Banda Aceh, Mesjid Raya ini tetap selamat dan terus berdiri kokoh hingga saat ini.”
Usai berpuas diri menikmati keindahan arsitektur Mesjid Raya Baiturrahman, kami pun beranjak menuju Museum Negeri Aceh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Museum Aceh yang hanya berjarak sekitar 700 meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Museum Negeri Aceh
Naqiya di depan Rumoh Aceh yang terdapat di Museum Negeri Aceh

Bukan tanpa alasan saya mengajak putri saya menelusuri tempat-tempat bersejarah di Banda Aceh. Semua itu bermula dari foto kopi kartu keluarga (KK) yang hampir ia gunting untuk dijadikan permainan. Karena merasa itu adalah miliknya dan ia tidak mau menyerahkan kembali kepadaku, maka sayapun mengajaknya untuk melihat huruf demi huruf di lembaran KK tersebut. Saat ini Naqiya memang sedang belajar mengenal huruf sehingga setiap melihat ada huruf yang ia hafal, ia pun menjadi senang.


Saya pun membacakan setiap tulisan yang terdapat di dalam daftar anggota keluarga yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Banda Aceh sampai tibalah pada tempat dan tanggal lahir kami sekeluarga. Alangkah senangnya ia ketika mengetahui kalau ia lahir di Banda Aceh sedangkan saya di Tangse dan suami di Seulimuem. Senang karena ia tidak hanya menumpang lahir di ibukota Provinsi Aceh ini tetapi juga menetap di tempat yang sama. Kartu keluarga itu juga langsung ia kembalikan ketika saya berjanji akan mengajaknya ke berbagai tempat wisata di Banda Aceh. Tempat yang sudah pernah ia kunjungi sebelumnya, saat ia masih sangat kecil serta ingatan dan rasa ingin tahunya belum sekuat saat ini.
Memasuki area Museum Negeri Aceh, pandangannya langsung tertuju pada Rumoh Aceh yang menjadi ikon museum ini. Di bawah rumah tradisional masyarakat Aceh ini terdapat meriam kuno, krong pade atau gupok yang merupakan tempat untuk menyimpan hasil panen, jeungki alat untuk menumbuk padi, kopi, atau tepung, gerobak, dan beberapa maket bangunan museum.
Museum Negeri Aceh


Sayangnya, ketika kami tiba ke sana hari sudah sore dan museum sudah tutup. Akhirnya saya dan putri saya hanya bisa berpuas diri melihat museum dari luarnya saja. Sebelum beranjak pulang, tidak lupa saya mengenalkan kepada Naqiya sebuah lonceng yang sangat bernilai sejarah yaitu Lonceng Cakradonya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja Aceh.
“Wow, besar sekali loncengnya,” seru Naqiya.
lonceng cakra donya


Setelah melihat sekilas Museum Negeri Aceh, saya lalu mengemudikan sepeda motor dan menuju destinasi wisata berikutnya yaitu Taman Putroe Phang. Lokasi taman ini tidak jauh dari museum, jaraknya hanya 450 meter. Saat berjalan ke taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisuri tercinta, Putroe Phang, maka saya juga melewati Meuligoe yaitu pendopo Gubernur Aceh. Suatu saat nanti, saya berencana mengajak putri saya masuk ke dalam kediaman orang nomor wahid di Aceh ini.
Sore hari Taman Putroe Phang tampak ramai. Banyak spot yang instagramable yang menjadi tujuan para kawula muda untuk megabadikan fotonya lalu dibagikan lewat laman media sosial Instagram miliknya. Koridor dengan tiang yang berarsitektur khas Aceh berupa pinto khop, jembatan kayu berpagar besi putih, dan gunongan kecil menjadi tempat favorit bagi mereka untuk mengambil gambar. Sedangkan di seberang sungai kecil sana, terdapat hutan kota dengan beraneka ragam tumbuhan dan taman bermain di tengah-tengahnya.
Taman Putroe Phang


Mengetahui saya mengajaknya ke Taman Putroe Phang, Naqiya langsung mengajak saya untuk menujuk taman bermain. Ayunan, jungkat-jangkit, dan perosotan menjadi incarannya untuk dinaiki. Karena masih ada satu destinasi lagi yang ingin kami jelajahi, maka Naqiya harus berpuas diri bermain sebentar saja di Taman Putroe Phang ini.
Taman Putroe Phang


Dari Taman Putroe Phang kami kemudian menuju ke Museum Tsunami Aceh. Meskipun sudah pernah mengunjungi museum yang dibangun untuk mengenang bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh 2004 silah, tetapi hal ini tidak menyulutkan semangat Naqiya untuk kembali bertandang ke dalamnya. Bagian yang ia sukai dari Museum Tsunami ini adalah kolam yang terletak di lantai dasar. Ikan-ikan yang hidup di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi bocah 4 tahun itu.
Museum Tsunami Aceh


Begitu juga dengan jembatan dengan beragam bendera dari berbagai negara digantungkan juga menjadi magnet bagi Naqiya. Dengan bahagianya ia berlari-lari melintasi jembatan berlantaikan kayu tersebut.
Rasa ingin tahunya semakin membuncah ketika ia memasuki bagian dalam museum. Di sana ia melihat bagaimana gempa dan gelombang tsunami memporak-porandakan Aceh lewat foto pada ruang display atau visual pada bioskop mini. Hanya saja, jiwa anak-anaknya belum bisa menangkap sepenuhnya tentang apa yang saya jelaskan atau ia lihat.

Hari semakin sore ketika kami keluar dari Museum Tsunami Aceh. Padahal, masih banyak tempat yang ingin saya kenalkan kepada Naqiya. Seperti Pantai Ulee Lheu yang sering ia kunjungi untuk mandi dan melihat matahari terbenam, lalu ke Titik Nol Banda Aceh di Kampung Pande, mengunjungi Taman Hutan Kota Banda Aceh yang terletak di Tibang, melihat indahnya Taman Tepi Sungai Krueng Daroy yang telah direvitalisasi, dan tempat-tempat wisata lain di tanah kelahirannya. Namun, ketika memiliki waktu luang suatu hari nanti, saya akan mengajaknya ke tempat-tempat tersebut. Tempat yang membuatnya semakin bangga menjelaskan kepada dunia bahwa “Saya Banda Aceh” dan "Inilah tanah kelahiran saya." Ya, selalu ada tempat menarik di setiap sudut Kota Banda Aceh yang membuat saya dan Naqiya semakin bangga menjadi warga Banda Aceh.



Posted from my blog with SteemPress : https://liza-fathia.com/inilah-banda-aceh/
Sort:  

Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.
@c-squared runs a community witness. Please consider using one of your witness votes on us here

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 66367.17
ETH 3007.58
USDT 1.00
SBD 3.71