“Kangkang Style” dan Efek Media |

in #opinion5 years ago



Oleh @ayijufridar

SETELAH konflik bersenjata dan Tsunami, kini Lhok Seumawe, Aceh, dikenal karena Surat Edaran Walikota Nomor 002/2013 mengenai larangan duduk mengangkang bagi perempuan dalam boncengan sepeda motor. Larangan ini sudah menjadi kontroversial bahkan ketika masih sebatas wacana. Walikota Suaidi Yahya yang melemparkan gagasan itu, menjadi tokoh popular di Aceh. Ia diwawancarai banyak media cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri. Dalam sejarah Aceh pasca-konflik, belum pernah ada kepala daerah yang mendapatkan porsi pemberitaan demikian gencar dan meluas. Selama ini, dalam kejadian konflik dan Tsunami, misalnya, pemberitaan lebih beragam. Tak hanya terfokus kepada satu narasumber dan isu tunggal.




Sejak disampaikan dalam sebuah pidato dan kemudian disiarkan media siber lokal, larangan duduk mengangkang di atas motor bagi perempuan yang dibonceng sudah menimbulkan pro kontra. Pemberitaan itu kemudian diangkat media nasional, termasuk surat kabar berbahasa Inggris terbitan Indonesia. Seperti bola salju, berita itu terus bergulir. Penolakan dari berbagai kalangan, mulai aktivis perempuan di Aceh dan luar Aceh yang menggelar konferensi pers, para akademisi yang menggelar diskusi serta seminar tentang kangkang style, malah membuat Suadi kian dimabuk publikasi dan melupakan substansi. Setidaknya ini terlihat dari argumennya di media. Apalagi sebuah stasiun televisi di Jakarta kemudian mengundang secara khusus Suadi Yahya untuk berbicara dalam sebuah talkshow.

Meluasnya pemberitaan sampai membuat Suadi Yahya menjadi tokoh pusat dalam isu ini, sungguh di luar dugaan kalangan jurnalis di Aceh. Mereka tidak menduga pemberitaan yang mulanya dianggap isu biasa, meluas demikian cepat menjadi konsumsi masyarakat dunia. Kesadaran akan kecepatan pemberitaan memang sudah terbangun di kalangan jurnalis lokal, tetapi dampaknya yang meluas sulit diukur sebelum berita itu disiarkan.

Penolakan yang dilakukan berbagai pihak, termasuk melalui jejaring sosial, justru membuat larangan mengangkang kian mengangkasa. Konon lagi ada segelintir pihak yang mendukung kebijakan itu dengan motif yang dibungkus alasan budaya dan syariat Islam yang dipahami dalam arti sempit. Dukungan itu setidaknya terlihat dari isi spanduk serta pernyataan sikap yang disampaikan beberapa organisasi. Setiap ada perkembangan baru mengenai kangkang style (istilah ini mulai popular di Aceh), media massa segera mengemasnya menjadi berita, bahkan bagi media terbitan Jakarta yang belakangan agak jarang mengangkat isu Aceh. Kita khawatir ketika isu ini mulai mengendur nanti, media akan mengangkat berita bernada provokatif, seperti berita dengan judul Surat Edaran “Kangkang” Jadi Macan Kertas.

Barangkali judul tersebut diangkat karena sampai sekarang, masih banyak perempuan di Lhok Seumawe yang duduk mengangkang demi alasan kenyamanan dan keamanan, bukan untuk melawan kebijakan walikota. Judul serupa pernah muncul di surat kabar lokal ketika polisi syariah di sebuah kabupaten tidak melakukan razia pakaian ketat bagi perempuan. Koran itu menyebut polisi syariah (wilayatul hisbah) sebagai macan ompong.

Wartawan tentu tak bisa disalahkan sebagai penyebab yang mendorong Suadi Yahya membuat aturan kontroversial. Adagium bad news is good news masih berlaku kendati terkadang memberikan dampak negatif di tengah masyarakat. Kebanalan itu adalah sebuah fakta tak terbantahkan.




Ada tiga kekhawatiran yang terjadi setelah surat edaran itu diberlakukan. Pertama, masyarakat Aceh sudah terbelah antara yang mendukung dan tak mendukung kebijakan tersebut. Kelompok yang mendukung terlihat lebih berani menyuarakan dukungannya. Sedangkan kelompok anti, lebih banyak membawanya ke dalam ranah yang lebih akademis. Strategi penolakan dari luar dengan isu yang dipasok dari Aceh justru menjadi bumerang karena dianggap masyarakat luar tak memahami persoalan Aceh. Lebih jauh dinilai hanya ingin mengacaukan Aceh bahkan diklaim anti-syariat Islam. Penolakan dari luar Aceh juga akan ditempat dalam semangat melawan Indonesia yang masih tetap menggelora di kalangan tertentu. Semua pihak tentu tak beharap perbedaan ini menimbulkan gesekan horizontal.

Kedua, pemberitaan gencar tentang isu ini akan membuat pihak tertentu di Aceh melakukan razia terhadap pengendara sepeda motor. Bahkan jauh sebelum wacana ini terangkat, sudah ada kelompok tertentu di Lhok Seumawe yang merazia pengunjung lokasi wisata dan di dalamnya ikut melarang perempuan dudung mengangkang di boncengan sepeda motor. Razia ini sempat menimbulkan konflik kekerasan antarkelompok masyarakat dan sebuah insiden sampai masuk ke pengadilan. Kepolisian seharusnya sudah berpengalaman menangani pola seperti ini dan bisa mengendalikannya agar tidak meluas.

Terakhir, bukan tak mungkin kebijakan ini diadopsi kepala daerah lain di Aceh dengan alasan sama. Popularitas yang diperoleh Suadi Yahya menggoda kepala daerah lain di Aceh untuk menikmati hal serupa.

Ke depan, sepertinya pers di Aceh harus memiliki agenda setting dalam pemberitaan mengenai syariat Islam. Tidak melulu mengikuti agenda pemerintahan setempat yang biasanya hanya seputaran razia perempuan berpakaian ketat. Pemahaman bahwa Islam bukan hanya pakaian ketat dan duduk ngangkang, harus dimulai dari kalangan media ketika penguasa malah sedang mengerdilkan syariat itu sendiri.[]

Ayi Jufridar bekerja sebagai jurnalis dan penulis fiksi.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Kiban ka man penerapan kebijakan Pak Wali tentang larangan bonceng ngakang bagi cewek nyan brader @ayijufridar ka 5 thon peu na jalan? Heboh ban sigom donya lheuh digoreng le media, bahkan sampai media luar negeri ikut latah kala itu.

Makajih Bro @isnorman, lon hana kupateh dari awai peukara qanun di Aceh, termasok di Bireuen soal ureung inong hanjeut duek saboh meja ngon ureung agam bak keude kupi. Hana mandum nyan. Peu lale tanyoe dan peu abeh peng mantong.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63960.62
ETH 3142.95
USDT 1.00
SBD 3.95