Konstelasi Citrapata (Sebuah Diksi Sederhana)

Source

Aku teringat kembali tentang Juni,
dimana hujan dan kata begitu rinai dalam balutan puisi Sapardi. Ini tentang Juni; yang di dalamnya bulan pernah jatuh ke bumi. Ia tidak mati, hanya saja jatuhnya meluluh-lantakkan pilar-pilar kisah,
Pilar-pilar yang kubangun tanpa sedikitpun resah didalamnya.

Kini aku harus merenung lagi dan membayangkan satu demi satu, perihal bilur yang pantas tergambarkan dalam lubuk sanubariku..

Tetes-tetes wewangian zaitun bercampur embun, hidup diantara para tulang kasih yang patah, bau busuk dusta menyeruak bebas tak tentu arah..

Sepinya jiwa di ujung tandus, kepergian suka semakin tergerus, termakan oleh waktu dan arus. Napasku berembus, hingga amarah mulai menghunus..

Dik,
Silakan tebak, apa yang aku temukan setelah sekian lama kenang menyelimuti? Tatkala bibirku tak mampu mengucap kalimat, maka aku tuangkan segala resah di bait puisi cacat..

Diksiku berkelindan dengan bangirnya luka jarak panjang, seakan menertawai rahasia yang pernah tersimpan rapi di sendat hulubalang..

Dik,
Pada akhirnya aku menakwilkan bahwa kepedihan memang layak ditanam, bersamanya aku kembali jenjam saat yang lain beranggapan kelam..

Maka, kuciptakan konstelasi citrapata seraya memaknai kedewasaan diri. seketika indraku pecah, namun lidahku justru bersiap mengatur rasa yang membuncah, bahasa tersumpal lincah.
Sebab, hanya dari duka masa lalulah, yang bisa membentuk hasrat dan kekuatan,
kekuatan di lingkup mayapada.
Sehingga aku mensyukuri presensinya untuk sekadar memberi reda melalui aksara yang bernada~

: tulisan ini menganalogikakan peradangan (amarah) dari seseorang yang ditinggalkan kekasihnya hingga merasakan sesak yang begitu teramat mendalam.

Bireuen, 17 Juni 2018