Problematika Pendidikan Di Sekolah

in #steempress5 years ago (edited)

image<hr>

 

 

 

Apa kabar sahabat steemian ? Kembali lagi bersama saya. Kali ini saya akan membicarakan mengenai problematika pendidikan sekolah, seperti biasa, saya akan bercerita sedikit sebelum masuk ke inti pembahasan, boleh ya ? Jadi media itu kadang-kadang berat sebelah, misalnya ketika lagi jaman berita si-A, mendadak di beritakan, itu langsung dengan sub yang berbeda. Misalnya judulnya lagi *"happening"*, soal orang mencuri menjadi babi ngepet, nanti tau-tau di temuin babi ngepet, di sanalah, di sinilah, tapi intinya sama.

 

Indonesia itu latah, jaman dulu saya juga ngalami di pukul di sekolah, karena nggak bisa matematika. Padahal makin di pukul makin nggak bisa, karena takut, ya kan. Tapi kalau di lihat sebenarnya kalau memang keterlaluan, guru pun tidak boleh mengajarkan dengan kekerasan, kalau itu nggak boleh. Nah tapi gini, batas keterlaluan, tidak keterlaluan, sangat subjektif. Setiap orang punya tolak ukurnya masing-masing. Kalau boleh saya bilang, ponakan saya, nggak pernah saya sentil sedikitpun, nggak pernah saya cubit. Jadi ketika ada orang yang melakukan kekerasan terhadap ponakan saya, saya pasti akan marah.

 

Maka saya akan sangat marah, ketika ponakan saya di beri hukuman fisik, yang di cubit, di pukul, di jewer pun, saya akan mempertanyakan. Karena menurut saya, kesalahan yang di lakukan oleh seorang siswa, konsekuensinya pun yang harus membuat dia tersadar akan perilakunya. Kenapa bangsa Indonesia sedikit-sedikit baku hantam, karena kita terbiasa di didik ketika ada kesalahan, kekerasan adalah solusinya. Saya termasuk orang yang percaya tidak ada orang di dunia ini yang berubah dengan kekerasan, kita bisa merubah seseorang dengan cinta dan kasih, dan itu tidak pernah melukai, tidak pernah menyakiti.


image

 

Sebetulnya ada cara lain mendidik siswa tanpa kekerasan, misalkan biar pikirannya nggak kacau, karena guru gajinya udah kecil, tekanannya tinggi. Terus saat ujian, muridnya nyontek, jadi pas lagi ujian guru di bantu beberapa orang. Jadi ada satu guru, tiga wasit, satu wasit, dua hakim garis di ruang ujian. Jadi kalau ada siswa yang nyontek, di kasih kartu merah. Sebetulnya karena mengalami trauma kekerasan di rumahnya, anak pun terbiasa mengembangkan cara pandang yang salah, bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang benar dan wajar.

 

Orang tua yang berpikiran pendek, akan membuat anak menganggap berpola pikir pendek, mudah meledak, gampang marah, bahkan kepada guru sendiri adalah sebuah kewajaran. Jadi poinnya, siapa sebenarnya yang salah ? Nah siapa yang bersalah, ini pertanyaan kita bersama.

 

Oke kita lanjut lagi membicarakan mengenai dunia pendidikan, terutama di sekolah. Ini kata orang kalau guru sekarang ini punya bebannya agak lebih berat, karena kalau misalnya menurut bapak Baswedan, bahwa yang namanya infrastrukturnya abad 18, guru-gurunya abad 20, murid-muridnya abad 21. Jadi memang yang namanya guru itu, beban untuk menjadi jembatan di antara mereka ini, dengan infrastruktur yang ada.<hr> image<hr>

 

Nah moga-moga guru sekarang ini memang di kejar untuk mencari yang namanya metode yang pendekatan jauh lebih manusiawi lah terhadap murid-muridnya, tetapi mudah di mengerti. Nah kalau dulu, pendidikan misalkan waktu guru datang bawa sepeda ontel, itu murid-murid saling berebutan untuk membawakan sepeda gurunya, hormat, gitukan. Sekarang kan nggak ! Kalau dulu,

 

"Selamat pagi pak guru".

 

Sekarang kalau ketemu guru, "Halo bro" ! Saking dekatnya,

 

Tapi kan kehilangan etika, karena apa ? Karena dari efek daripada kemajuan jaman. Anak-anak sering main gadget, sehingga kurang bersosialisasi.

 

Misalnya ucapan hari raya, cukup dengan WhatsApp, line dan lain sebagainya, sehingga saling berdekatan ini susah sekali. Dia tidak terbiasa dengan kerja gotong royong, itu yang mengakibatkan berpikiran sempit. Kadang-kadang dia cepat marah, karena apa ?

 

"Aku nggak kenal sama kamu, nggak masalah, teman aku yang lain masih banyak, aku bisa komunikasi dengan teman-teman yang baru".

 

Saya jadi ingat jaman SMP dulu, saya SMP nya kan di Kabupaten, jadi saya pernah di hukum. Tapi saya sangat berterimakasih atas hukuman itu, jadi saya pernah ketauan pacaran di sekolah, terus di hukum jalan jongkok keliling lapangan. Setelah itu saya cium tangan ke pak guru, terimakasih, terus saya bergumam dalam hati, untung hukumannya jalan jongkok, karena kalau pacaran hukumanya jalan di tempat, kan sia-sia.

 

Jadi menurut saya, hukuman sekarang harus berfungsi 10 atau 20 tahun ke depan, misalnya kalau muridnya bandel, suruh bawa bangun Mushalla. Yang telat satu kali, bawa satu biji bata, dua kali, 2 bata, tiga kali 3 bata, dan seterusnya. Tapi memang sebenarnya kita harus mencari bagaimana sih hukuman yang paling tepat, formulasi untuk hukuman. Kalau menyimak Undang-Undang tahun 2003, terkait pendidikan, ada dua poin yang menarik, bahwa hukuman itu boleh kok di sekolah, tapi dengan syarat, hukuman itu untuk mendisiplinkan, bukan memyakitkan. Hukuman terbaik bagi siswa adalah, "Suri tauladan".<hr> image<hr>

 

Ya, jadi harus jadi suri tauladan, kalau ponakan saya di sekolahnya, kalau misalnya di hukum, ada satu hukuman, yaitu hukuman dia harus main teater, ntah dia mau main drama, atau nyanyi. Dia bernyanyi di depan teman-temannya, dan teman-temannya walaupun suaranya dia jelek, tetap dia harus mengapresiasi. Itu sebenarnya ada dua pelajaran penting yang bisa di ambil:

 

Yang pertama si anak belajar untuk percaya diri

 

Yang kedua dia belajar untuk mengapresiasi, nah seperti itu. Karena terdidik itu beradab, tidak biadab.

 

Kita lanjutkan mengenai pendidikan, seperti biasa kalau di Indonesia, sudah menjadi sebuah tren, bahwa yang namanya pergantian, seperti pendidikan, biasanya juga bergantilah juga yang namanya kebijakannya juga. Moga-moga setiap kebijakan itu membawa yang namanya kebaikan untuk keseluruhan. Orang tua sekarang di berikan sebuah PR untuk berpikir, kira-kira misalnya program yang di lakukan yaitu sekolah itu penuh dengan hari. Artinya sekolahnya sepanjang hari, dari jam 7 sampai dengan jam 4 sore.

 

Jadi begini, tren sekolah maju itu adalah les school time, menurut saya, kalau jam sekolahnya panjang, itu seperti melepas tanggung jawab orang tua kepada sekolah, dan yang paling penting apa ? Merenggut intensitas pertemuan anak dan orang tua, sehingga kehilangan kualitas. Menyekolahkan anak di sekolah dengan berlama-lama, tidak membuat tanggung jawab orang tua sebagai pendidik anak jadi gugur. Pendidikan bukan sekedar berapa lama si anak sekolah, tapi bagaimana membentuk karakter si anak.

 

Nah di Finlandia, cuma 5 jam dan menjadi negara nomor satu, negara literasi dunia, cuma 5 jam saja kuliahnya. Coba di Indonesia berapa ? Jam 7, keluarnya jam 4. Saya lihat ponakan saya pulang jam 3, nggak tega. Jadi ada seorang bijak yang mengatakan, bahwa pendidikan yang utama adalah di keluarga, jadi kita tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pendidikan itu kepada sekolah. Karena karakter di bentuk bukan hanya oleh guru, tapi paling berperan itu adalah orang tuanya.

 

Sampai di sini dulu perjumpaan kita hari ini, moga-moga apa yang saya sampaikan di atas, dapat bermanfa'at bagi saya sendiri, dan untuk kita semua.

 

 

Salam Steemian Indonesia 💫

 

 

~Keep Writing~

 

image

 

 

 

Salam Sahabat Inspiratif



Posted from my blog with SteemPress : http://midiagam.epizy.com/2019/02/09/problematika-pendidikan-di-sekolah/

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64386.10
ETH 3142.17
USDT 1.00
SBD 3.98