Kisah Lelaki Kurang Peka dan Siswa yang Membenci Buku

Minggu sore kemarin, cuacanya agak PHP, gerimis manja yang bisa saja menjelma hujan yang membuat kambing lari terbirit-birit. Akhirnya saya memustukan untuk di rumah saja. Rencana sore ini ingin pergi ke Aceh Culinary Festival di Lapangan Blang Padang.

Mulai merasa bosan. Aku duduk di teras atas kos yang langsung berhadapan dengan jalan Sp. Surabaya Banda Aceh. Anak-anak muda yang duduk di pinggiran Fly Over tidak memudulikan gerimis manja itu. Mereka terus bercanda. Lalu hujan turun mulailah mereka terbirit-birit lari seperti kambing.

Padahal jelas, gumpalan awan hitam memberi kode, bahwa hujan sementar lagi akan turun. Agaknya, mereka adalah sekumpulan laki-laki yang tidak peka. Peka terhadap wanita, keadaan, lingkungan, dan alam.

"Hahaha," tawaku melihat mereka terbirit-birit, sambil membaca ulang novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Aku terus membaca dan akhirnya hujan semakin deras. Jalanan sekejap sepi dan aku tidak fokus lagi membaca.

Aku membuka ponsel dan berselancar di dunia Instagram. Satu persatu Instagram story ku buka. Dan betapa ramainya orang merekam hujan. Mulailah mereka menjadi sastrawan yang sok-sok mengeja hujan.

Dari banyak yang mengeja hujan. Satu diantaranya membenci buku. Miris, salah satu akun siswa yang menulis seperti ini. "Selamat untukmu yang baru saja diwisuda, selamat menempuh masa dimana buku-buku tak lagi disampingmu; #putihabu-abu".

Dilanjutkan dengan postingan bersama teman-temannya mengunakan baju sekolah yang dicoret-coret. Sedihnya hati ini.

Baiklah. Kembali pernyataannya tentang; buku-buku tak disampingnya. Agaknya, ia dikatagorikan lelaki yang kurang peka. Bagaimana bisa dia mengatakan untuk meninggalkan buku-buku. Bahwa telah diketahui, buku adalah jendela dunia.

Bagaimana negeri ini jika anak Siswa yang baru lepas dari sarangnya, membenci buku?

Salam hangat, @adzilikram