Bengkulu-Kepahiang: Pecah Ban Motor Tengah Malam (Bagian I)

in #story6 years ago (edited)

Source

Aku berproses di Teater Petak Rumbia Bengkulu. Sesekali aku diminta melatih di Teater Besurek dan Sanggar Teater Bahtra, keduanya di Universitas Bengkulu. Semua teater itu berada di Kota Bengkulu, 60 km dari rumahku di kota Kepahiang.
Begitulah, setiap Sabtu aku akan ke Bengkulu, lalu Minggu malam aku akan pulang ke Kepahiang. Perjalanan pergi-pulang itu tiap minggu aku tempuh biasanya dengan sepeda motor, hanya sesekali saja aku menggunakan mobil.
Malam itu, Minggu malam, 19 Maret 2018, aku akan pulang ke Kepahiang dengan diantar oleh Budi menggunakan sepeda motor miliknya.
Sekitar pukul 20.30 kami memulai perjalanan menuju Kepahiang.
Sebenarnya, aku dan Budi sudah begitu lelah. Sepanjang hari Minggu kami telah berlatih untuk pementasan ulang di “Tamu Medan Dari Medan Perang”, karya Dinsman. Pementasan sebelumnya telah kami laksanakan dengan sukses di Batam. Pementasan ulang ini direncanakan dua minggu lagi, di Laboratorium Kreatif Universitas Bengkulu. Selain itu, bersama teman-teman kami juga menggarap sebuah dramatisasi puisi “Pelajaran Mengingat” karya Ganda Sucipta, seorang penyair muda Bengkulu.
Sungguh, hari Minggu itu benar-benar melelahkan.
Sepanjang perjalanan aku dan Budi banyak diam. Aku termenung-menung saja di belakang Budi yang memegang kendali sepeda motor. Sesekali aku mengejutkannya, hanya untuk memastikan dia tetap terjaga dan sadar, karena aku kuatir dia mengantuk.
Benar saja, memasuki wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah, aku merasakan motor sedikit meliuk-liuk jalannya, hingga ke tengah jalan. Hm, jangan-jangan Budi sempat tertidur ini, pikirku. Ini bahaya sekali!
Akhirnya di depan sebuah SPBU Bengkulu Tengah, aku mengambil alih untuk mengemudikan sepeda motor. Namun, karena mengantuk juga, kami tetap kehilangan selera untuk mengobrol. Biasanya dalam perjalanan dengan kawan-kawan lain akan selalu heboh sepanjang perjalanan, ada-ada saja yang bisa jadi bahan obrolan dan gurauan.
Memasuki Desa Taba Pasmah, kurang lebih 5 km dari SPBU tadi, kami merasakan motor menjadi goyang. Apa lagi ini? Ban pecah atau kempes?
Ban pecah ternyata! Aduh, celaka ini. Sementara perjalanan ke Kepahiang masih berjarak 50-an km lagi, dan waktu juga sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Di mana ada bengkel motor yang masih buka di desa ini? Desa-desa di Bengkulu Tengah di sepanjang jalan provinsi itu pukul 20.00 saja biasanya sudah sepi.
Budi turun, kemudian aku kendarai motor pelan-pelan mencari-cari kalau-kalau ada bengkel yang masih buka.
Sekitar 1 km dari tempat Budi turun tadi ada bengkel yang sudah tutup, tapi pintu rolling-door-nya masih terbuka sedikit. Ada beberapa lelaki tengah mengobrol di depannya.
Siapa tahu, pikirku. Aku hentikan motor, turun, kemudian menghampiri orang-orang itu. Aku bertanya apa bisa untuk mengganti ban dalam? Kutekankan juga kalau aku akan pulang ke Kepahiang, agar bisa menggerakkan hati mereka untuk membantu.
Sayang sekali, bukan tidak mau membantu, jawab salah satu orang dari mereka, tapi teknisinya sudah pulang, rumahnya di Dusun Lubuk Sini Dalam.
Waduh! Dusun itu jauh dari jalan provinsi.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali men-starter motor dan melanjutkan pencarian.
Nah, nasib baik sepertinya. Sebuah bengkel yang menyatu dengan sebuah warung masih buka.
Dengan yakin aku berkata kepada seorang ibu yang berada di dalam warung itu: “Bu, tolong ganti ban dalam, ya.”
Dan... lagi-lagi aku kecewa. “Suami aku belum pulang dari memancing, Pak,” jawab ibu sambil berjalan keluar warungnya.
Aduh, kalau memang tidak beroperasi mengapa masih buka? Omelku dalam hati. Tetapi segera aku paham, jika bengkel dan warung itu memang dalam satu tempat dan pintu yang sama.
Oya, apa kabar Budi?
Budi segera kutelepon, di mana posisi dan lagi apa?
Budi menjawab dia sedang duduk di sebuah warung. Ok, jawabku, tunggu saja di sana, segera ban sudah beres aku balik jemput nanti.
Aku sudah tiba di Desa Taba Terunjam. Karena itu adalah desa yang cukup ramai penduduknya dan lumayan panjang, aku ada harapan menemukan bengkel yang masih buka. Dan harus temu, karena selepas desa ini untuk menuju desa berikutnya aku akan melalui sebuah hutan karet dan sawit yang cukup panjang. Tentu aku tak mau melewatinya jalan yang gelap dan sepi mencekam.
Empat buah bengkel tutup semua. 2 buah bengkel yang menyatu dengan rumah aku gedor, hasilnya: 1 bengkel orangnya pergi ke Bengkulu, 1 bengkel lainnya orangnya pergi menghadiri undangan di dusun lain. Semua itu yang menjawab adalah istri dari pemilik-pemilik bengkel itu.
Harapan terakhir, di ujung desa adalah sebuah rumah makan persinggahan supir-supir truk. Aku tahu, di mana ada rumah makan seperti itu, maka akan ada bengkel atau tambal ban. Tapi itu juga tidak membuat aku bergembira. Bengkel itu tutup, gelap gulita.
Dengan kondisi ban yang terseok-seok, juga menggelincir, di mana ketika tikungan kedua kakiku harus menyentuh aspal untuk menjaga keseimbangan, kutempuh jalanan sepanjang 1 kilometer di antara hutan karet dan kelapa sawit. Aku teruskan perjalanan menuju Dusun Lubuk Sini Luar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30.
Kususuri jalan sepanjang desa kecil yang sepi, dengan harapan yang tipis. Harapan besarku hanya ada di Taba Penanjung, yang berada setelah dusun ini.
Sebagai ibukota sebuah kecamatan, Taba Penanjung sangat panjang, ramai dan padat, tentu masih ada bengkel yang buka. Kota kecil ini juga sering dijadikan tempat persinggahan mobil-mobil bus dan travel antar kota antar provinsi.
Tapi, lagi-lagi aku terlalu berharap. Tak ada bengkel yang masih buka dan mau buka!
Taba Penanjung merupakan desa terakhir sebelum memasuki “gunung”, sebuah istilah yang biasa kami pergunakan untuk menyebutkan jalan yang berada di wilayah pegunungan untuk menuju Kabupaten Kepahiang, atau sebaliknya dari Kepahiang ke Taba Penanjung.

Taba Penanjung-Kepahiang berjarak kurang lebih 40 km. Sepanjang perjalanan akan melewati hutan belantara, tepian jurang dan jalan yang berkelok-kelok dengan aspalnya yang pada beberapa tempat compang-camping. Setengah perjalanan kita akan menanjak terus hingga menuju batas wilayah. Batas Wilayah antara Kabupaten Bengkulu Tengah dengan Kabupaten Kepahiang ditandai sebuah gerbang besar, berdiri tepat di atas puncak perbukitan. Dari gerbang batas ini menuju Kepahiang jalan akan terus menurun hingga tiba di gerbang kota Kepahiang.

Antara aku dan Budi sekarang sudah berjarak kurang lebih 12 km.
Di ujung Taba Penanjung aku telepon Budi. Kepadanya aku bilang agar dia pulang saja ke Bengkulu dengan menumpang mobil travel yang lewat. Motor akan aku bawa saja ke Kepahiang. Budi mengiyakan. Komunikasi pun berakhir.
Normalnya perjalanan Taba Penanjung-Kepahiang adalah 45-60 menit. Aku juga tidak takut untuk melakukan perjalanan itu, karena aku sendiri sudah sering juga berjalan malam untuk untuk pulang ke Kepahiang. Bahkan tengah malam, saat lalu lintas sudah begitu sepi, aku pernah pulang sendiri juga dengan sepeda motor.
Tapi, kali ini kau berada dalam kondisi yang tidak normal!
Tengah malam, situasi dan kondisi yang gelap, sepi dan harus aku tempuh dengan sebuah sepeda motor yang pecah bannya. Untung saja cuaca walau sedikit mendung, tetapi tidak hujan.
Aku lajukan sepeda motor dengan kecepatan 30-40 km/jam. harus benar-benar konsentrasi, sepeda motor juga sudah benar-benar bergetar dan begitu goyang. Bannya berlari kiri-kanan. Sesekali terdengar juga suara ban yang aneh gedebak-gedebuk melindas aspal. Untunglah pula kantukku telah pergi lenyap.
23.30 tepat, aku tiba di rumah, di Kepahiang, dengan selamat. Dan, aku juga sudah berpikir baik, bahwa Budi pun sudah tiba di Bengkulu.
Begitu turun dari sepeda motor, kurasakan semua sendi tulangku rasanya remuk setelah diguncang-guncang oleh motor. Badan yang sudah lelah, semakin menjadi lelah.
Sebelum masuk rumah, Budi kutelepon lagi. Dia masih di Dusun Durian Demang, sedang menunggu Mamek.
“Tenang saja, Kak. Mamek bilang, setengah jam lagi, kalau aku belum dapat mobil, dia yang akan menjemput.”
“Ok, Bud,” jawabku. “Bawa tenang ya.”
“Ok, Kak,” ujar Budi kembali sebelum kami saling menutup telepon.
Aku pun masuk ke rumah. Berbincang sebentar dengan istri, kemudian mengintip sedikit ke kamar anak-anak.
Setelah menyegarkan badan, sambil menikmati kopi yang sudah disediakan istri, aku menyalakan komputer sebentar, sekedar untuk membaca postingan-postingan yang ada di steemit.com. Selanjutnya, ah... aku kira aku sangat membutuhkan tidur.
------ (Bersambung)

Emong Soewandi || @emong.soewandi

Screenshot_18.jpg

Sort:  

wah perjalanan yang penuh perjuangan bang. Lalu apakah ban motor masih bisa dtambal atau harus diganti? ditunggu kisah selanjutnya.

Semoga kisah selanjutnya akan menarik. Semuanya adalah kisah nyata yang aku alami dalam minggu ini

Mantappp jiwaaaaaa 😥😥😥😥

Sampai harus periksa darah dan jiwa sepertinya.... wkwkwkwkwkwk

menakjubkan, perjuangan penuh dengan rintangan, tetapi masih bisa dilewati dengan penuh semangat. Semoga membuahkan hasil yang sangat manis. Tentunya menjadi sebuah penasaran bagi pembaca apa yang akan terjadi di cerita ini bagian ke dua nantinya... Keep Fire!!

Dan aku tak sabar menunggu versi lain dan dari sisi lain kisah ini....
Siap, Budi? wkwkwkwkwk

Of Course I am. Write down all of them kak. I have the other one, the other version. Coming soon...

Ini sejarah menarik untuk diceritakan di kemudian hari..

Tak terlupakan, Den.... hahahaha

Perjalanan yang sangat melelahkan. Seniman memang harus berdarah-darah.....

Setia selalu, karena kesenian membuat hidup jadi bergerak.... :)

Dari suatu tempat menuju tempat yang lain. Pengalaman yang bertambah-tambah pak @emong.soewandi.

Biar hidup ada warna... :)

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 61060.27
ETH 2927.58
USDT 1.00
SBD 3.55