Kompeni Belanda dan Kisah Dendam Serdadu Bugis Terhadap Orang Aceh

in #story5 years ago (edited)

Kisah ini diceritakan oleh Perwira Belanda, Letnan JP Schoemaker dalam buku, “Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjeh”. Banyaknya serdadu kompeni Belanda yang tewas di Aceh, membuat kawan-kawannya yang masih hidup menaruh dendam terhadap orang Aceh, salah satunya adalah serdadu asal Bugis bernama Batjo. Kisahnya seperti kutipan di bawah ini.

Suatu ketika sepulang dari perang di Mukim XXII Aceh Besar, serdadu Kompeni Belanda yang kelelahan bergegas mencari bivak untuk istirahat. Mereka mencari tempat tidur untuk memulihkan tenaga. Perang Aceh benar-benar telah menguras tenaga mereka, beruntung mereka bisa kembali ke bivak dengan selamat, sementara teman-temannya ada yang tewas disergap pejuang Aceh.

20180828_202905.jpg
Lukisan tentang perang jarak dekat saat invansi pertama Belanda ke Aceh, 26 Maret 1873 di Pantai Ceureumen, Uleelheu, Banda Aceh Sumber

Sekeliling bivak tampak sepi, sesekali terdengar suaca burung berkicau di luar. Sementara sekilwak-sekilwak yang bertugas menjaga bivak itu selalu siaga, mereka berdiri diam saja, sekejap saja mengantuk dan lengah mereka akan dibunuh oleh orang Aceh yang bisa saja muncul secara tiba-tiba ke sana. Pengalaman sudah mengajarkan mereka, kalau tidak ingin mati, harus tetap waspada meski di bivak pasukan sendiri.

Sekitar pukul sebelas malam, kelihatan satu patrol serdadu Belanda asal Bugis keluar dari satu bivak. Pasukan patroli itu berjalan pelan dan mengendap-endap dari bivak hingga kemudian masuk ke rimbunan alang-alang. Mereka mendapat perintah merangkak sampai ke pingir hutan, untuk mencegah bila ada kelompok pejuang Aceh yang mencoba untuk menerobos masuk menyerang bivak Belanda itu.

Patroli seperti itu sudah sekali dan sangat berbahaya bagi para serdadu, karena bisa saja orang Aceh sudah lebih dahulu mengendap di sana untuk mengintai pasukan Belanda. Namun, serdadu Bugis yang dipimpin oleh seorang letnan Eropa itu terus mengendap menuju ke pinggiran hutan.

Ketika hampir tiba di pinggiran hutan, patroli Belanda itu mendengar suara tanting patah. Mereka yakin itu orang Aceh yang juga sedang mengintai mereka. Letnan Eropa memberi isyarat untuk berhentik dan siap siaga. Para serdadu Bugis itu kemudian mengelilingi sang letnan Eropa, menjaganya di tengah lingkaran.

20180513_192957.jpg
Perwira Belanda istirahat di salah satu bivak di Aceh Sumber

Tak lama kemudian terdengar lagi suara ranting patah, para serdadu Bugis itu saling lirik dan terus menjaga Letnan Eropa atasannya itu. Tapi tiba-tiba mereka melihat kelelawar terbang setelah makan buah di sebatang pohon. Ketakutan mereka terhadap serangan orang Aceh hilang, mereka terus mengendap dalam rimbunan alang-alang itu hingga ke pinggir hutan.

Sampai di pinggir hutan, mereka menemukan sebuah jalan setapak, mereka yakin itu jalan yang sering dipakai orang Aceh untuk mengantar barang dan makanan kepada kelompok pejuang Aceh di dalam hutan. Letnan Eropa itu memerintahkan para serdadu Bugis tersebut untuk berjaga-jaga dan mengintai di sekitar jalan setapak tersebut.

Namun setelah satu jam mereka mengintai di situ, tak satu pun orang Aceh yang kelihatan. Salah seorang serdadu Bugis bernama Batjo kesal, ia kemudian mendekati Letnan Eropa itu. Ia sangat kesal, karena usahanya gagal. Padahal ketika berangkat patroli Batjo sudah menyampaikan sumpah serapah di hadapan serdadu lainnya bahwa akan membalas orang Aceh yang telah membunuh temannya.

Batjo berkata kepada Letnan Eropa, komandannya itu; “Dua tiga jam lagi akan terang, kita orang musti pulang. Letnan tahu bahwa kita sudah sering betul berperang dengan orang Aceh dan sudah banyak serdadu Bugis yang mati. Coba letnan kasih izin bergerak maju sedikit lagi, di sana di gunung nanti kita akan menemukan orang Aceh yang kita cari,” katanya.

20180513_193044.jpg
Pasukan Belanda siaga di jalur kereta api di luar Kutaradja Sumber

Letnan Eropa itu paham betul tentang keinginan Batjo itu. Ia akan malu kalau nanti tengah hari pulang sampai ke bivak, tidak menemukan orang Aceh yang dicari kompeni. Padahal ia sudah bersumpah untuk menuntut balasa. Letnan Eropa itu mengizinkan pasukannya masuk lebih jauh ke dalam hutan.

Mereka terus mengendap ke dalam hutan, tapi tetap juga tak menemukan apa-apa. Biasanya dalam patrol seperti itu mereka akan mencari alur sungai. Sering di sungai ada orang-orang Aceh yang membawa lentera untuk mencari ikan. Tapi mereka juga tak bisa dipercaya, karena para pencari ikan itu sebetulnya juga mata-mata bagi pejuang Aceh di tengah hutan.

Jalan yang dilalui patroli serdadu Bugis itu semakin susah, berbatu dan berduri. Mereka harus merangkak pelan-pelan satu persatu. Hingga kemudian mereka tiba pada sebuah belahan gunung dan melihat banyak orang Aceh bersenjata di sana. Letnan Eropa itu segera menahan Batjo, ia tidak ingin serdadu Bugis yang sudah sangat dendam pada orang Aceh itu mengamuk dan menyerang sendirian. Ia akan mati konyol di tangan orang Aceh.

Letnan Eropa itu bersama Batjo dan pasukannya terus mengendap. Ia berkata “Tidak boleh pasang kalau tidak ada perintah.” Artinya tidak boleh ada yang menembak sebelum menerima komando darinya. Ia juga memerintahkan para serdadu untuk memasang bayonet di ujung senapan masing-masing, serta meletakkan patroonzak di depan badan.

Pang Yatim dan keuchik Abaih.jpg
Dua orang pejuang Aceh Pang Yatim dan Keuchik Abaih Sumber

Dua pria Aceh terlihat di depan gua, tangannya memegang senter dan senapan, yang satu lagi memegang tombak. Sementara di dalam gua ada sekitar 30 pria Aceh sedang tidur. Letnan Eropa bersama serdadu Bugis itu terus bergerak pelan menuju mulut gua. Tiba-tiba dari kampung terdengar suara pentungan dipukul. Orang Aceh menyebutnya “tak-tok.” Mungkin mereka melihat ada kelompok serdadu Belanda lain yang sedang patroli ke sana. Seiring dengan suara pentungan dari kampung seberang hutan itu, seketika lampu pelita di dalam gua padam.

Batjo serdadu Bugis itu menerobos ke mulut gua. Pria Aceh yang berjaga di mulut gua itu kaget, selanjutnya terdengar suara dentingan pedang, Batjo sedang berkelahi dengan orang Aceh itu. Mendapat serangan mendadak dari Batjo, pria Aceh yang berjaga dimulut gua itu terus melawan, sampai kemudian si Batjo menang. Tapi kemenangan itu tidak mudah, ia mendapat banyak luka sabetan pedang.

Serdadu-serdau Bugis lainnya juga berpencar dalam gelap malam, menghindari tembakan orang-orang Aceh dari dalam gua. Setelah tembak menembak reda, serdadu-serdadu itu dikumpulkan lagi dan kembali ke bivak di luar hutan. Mereka tidak berani masuk ke dalam gua, karena resikonya sangat besar. Tapi Batjo meski tubuhnya penuh luka, kini sudah puas karena sudah berhasil membalas dendam kawannya, menewaskan seorang pejuang Aceh.

Sort:  

posting yang bagus gan... namun link sumber gambar anda tidak bisa saya lihat...

Sumber gambar sebagian dari Collectie Tropenmuseum dan Repro dari buku The Dutch Colonial War In Aceh

Luar biasa pak is, semoga selalu dapat menulis cerita2 lama yg sangat berguna.
Lanjut pak is!!!!

Posted using Partiko Android

Biasa aja Bu @nurmalaalibasjah saya hanya berusaha berbagi pengetahuan sejarah saja, semoga kita bisa terus saling berbagi informasi dan pengetahuan.

hana lee kamoe, ka payah mat bendera puteh...hehhe

Nyan kok cucuo Endatu meunyoe mat bendera puteh, gen ureung Aceh kon gen mat bendera puteh, tapi awak kibar pupanji lam mideun prang.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64222.08
ETH 3135.29
USDT 1.00
SBD 3.99