Kisah Diplomasi Wakil Indonesia di Luar Negeri Lambertus Nicomendus Palar dan Daerah Modal Aceh

in #story6 years ago

Hubungan Indonesia dengan luar negeri putus total setelah agresi Belanda kedua. Diperparah lagi dengan dikuasainya pusat pemerintahan Indonesia di Yogjakarta oleh Belanda. Aceh satu-satunya daerah modal republik yang belum bisa dimasuki oleh Belanda saat itu.

Karena itu pula, pada 2 Januari 1949, Wakil Indonesia di luar negeri Lambertus Nicomendus (LN) Palar melakukan komunikasi dengan para pejabat di Aceh. LN Palar meminta kepada Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh data-data pemerintah Daerah Modal (Aceh) untuk dijadikan bahan perjuangan diplomasi di luar negeri. LN Palar ini juga yang kemudian menjadi Wakil Pemerintah Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

LN Palar_Tirto.ID.jpg
Lambertus Nicomendus Palar sumber

Hal ini diungkap oleh sejarawan Talsya dalam bukunya Sekali Republiken Tetap Republiken, buku ini diterbitkan pada tahun 1990 oleh penerbit Prakarsa Abadi Pres, Medan atas bantuan dana dari Menteri Koperasi dan Kepala Bulog, Bustanil Arifin.

Bustanil Arifin merupakan salah satu pejuang kemerdekaan di Aceh, dan memiliki hubungan erat dengan kiprah pemuda republik Indonesia di Aceh yang ditulis dalam buku tersebut. Menariknya semua hasil penjualan buku tersebut disumbangkan untuk pembangunan masjid di Banda Aceh.

Kembali ke LN Palar, karena putusnya komunikasi antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Yogjakarta dengan perwakilan-perwakilan luar negeri, setelah ibukota Yogjakarta dikuasai Belanda, menimbulkan kesulitan-kesulitan dana dan bahan dalam perjuangan diplomasi di luar negeri.

Rakyat Aceh kemudian mensuplay biaya-biaya dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk diplomasi dan propaganda di luar negeri. Malah, karena tidak adanya uang republik (rupiah), rakyat Aceh di Markas Pertahanan Aceh Timur mengeluarkan bon kontan bernilai 100 sebagai alat pembayaran pengganti rupiah. Bon kontan ini dinamai Oeang Roepiah Repoeblik Indonesia Soematera Utara (Oripsu).

20180917_222204.jpg
Bon contan uang Oripsu pengganti Rupiah yang diterbitkan Markas Pertahanan Aceh Timur sumber

Untuk menghindari pemalsuan, pada uang Oripsu tersebut dibubuhkan tanda dan cap atas nama Markas Pertahanan Aceh Timur oleh Oesman Adami. Uang Oripsu ini dilekuarkan di Langsa sejak 2 Januari 1949.

Tentang ini juga ditulis oleh sejarawan Belada Cornelis Van Dijk dalam buku DII/TII Sebuah Pemberontakan dan sejarwan M Nur El Ibrahimy dalam buku Tgk Daud Beureueh dan Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh. Uang Oripsu ini bukan hanya digunakan di Aceh dan Sumatera Utara saja, tapi juga dijadikan alat tukar resmi dalam ekspor impor komoditi Aceh ke Penang dan Singapura.

Hasil penjualan komoditi pertanian asal Aceh di luar negeri itulah yang dikirim kepada LN Palar dan wakil-wakil Indonesia di luar negeri. Dana untuk diplomasi itu tidak dikirim dari Aceh, tapi diambil langsung dari pengusaha-pengusaha Aceh di Penang dan Singapura.

Belanda tidak tinggal diam terhadap posisi Aceh tersebut, serangan militer akan dilakukan, karena Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang belum berhasil dimasuki Belanda pada agresi kedua. Pada 2 Januari 1949 tersebut, kegiatan-kegiatan militer Belanda untuk menuju Aceh dipusatkan di Tanjung Pura, Sumatera Utara.

Menyadari hal tersebut, pejuang Aceh dari Divisi X segera mengambil langkah-langkah untuk menghadapi Belanda di perbatasan Aceh. Barisan pejuang Aceh disiagakan di berbagai tempat strategis.

Tubasja.jpg
T Usman Basjah sumber

Untuk menghadapi kemungkinan masuknya Belanda ke Aceh, Komando Resimen Tentara Pelajar Indonesia (TPI) memberi kuasa kepada Kepala Staf Komando Seksi III bagian penerangan T Usman Basjah, untuk membentuk koresponden perang di setiap batalyon dan kompi TPI di seluruh Aceh.

Saat itu spionase antara Belanda dan Aceh terjadi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Belanda mengirim sejumlah mata-matanya ke wilayah Aceh untuk memastikan waktu yang tepat melakukan agresi dan perang penaklukan Aceh. Begitu juga dengan barisan perjuangan rakyat Aceh, mengirim dan melakukan kontak rahasia dengan barisan perjuangan di Sumatera Utara untuk mencegah Belanda masuk Aceh.

Dan kenyataannya memang Belanda tidak pernah bisa masuk ke Aceh pada agresi kedua mereka. Hal itu pula yang menjadi modal bagi LN Palar dan para perwakilan Indonesia di luar negeri dalam melakukan diplomasi. Presiden Soekarno pun kemudian memberi gelar kepada Aceh sebagai Daerah Modal dengan sebutan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.032
BTC 60648.94
ETH 2906.35
USDT 1.00
SBD 3.60