Terminal Kehidupan

in #story6 years ago

image

Terminal, secara bahasa dan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai; pemberhentian penghabisan. Rasa-rasanya, bila hanya sebatas itu, terlalu kasihan terhadap keberadaan terminal. Sejak ia ada dan dikenal, terminal memengang peranan penting, tidak hanya soal deru transportasi, melainkan tentang deru nasib.

Seberapa riuh terminal menandakan kemeriahan nasib orang-orang yang menggantungkan hidup padanya. Tebalnya asal kenalpot, berkorelasi terhadap mengepulnya asap di rumah. Seberapa cerewet para harlan juga kernet yang merepep-repet, ketahuilah; ada yang tak berteriak di bawah tanggungan masing-masing mereka, yang menjerit dalam doa. Semisal, semoga ayah dilimpahkan rezeki yang cukup.

Siang tadi, terminal mini bus L-300 Lueng Bata, Banda Aceh kuyup dibasahi air langit. Saya tiba diantar seorang sahabat. Di gerbang masuk, kakak Dishub yang sungguh masih cukup mengisi ruang ingatan saya masih bertugas di sana. Ada yang berbeda pada kedatangan saya kali ini, di ujung jemari lentiknya, kuku, tak tampak lagi kutek berwarna merah. Tentu saya tak bertanya, hanya melunasi tanggungjawab memberikan retribusi masuk terminal; 100 rupiah.

image

Saya memesan satu tiket arah Lhokseumawe. Kata yang jaga loket, mobil akan berangkat jam 12:00 dan saat itu sedang menjemput beberapa penumpang yang lain. Saya menunggu beberapa saat, tunggu punya tunggu, mobil yang dijanjikan tak juga datang. Ada satu yang merapat, kala saya hendak naik, penjaga loket bilang bahwa bukan itu mobil jatah saya. Saya masih cukup positif thinking.

Padahal, dalam mobil tersebut, entah hari apa ini hari, di dalamnya, lewat celah kaca jendela saya melihat ada banyak bunga dengan mahkota dan harum mencuri perhatian. Satu sisi, batin berharap. Di lain sisi, batin bersyukur. Bahwa bukan mobil itu menjadi jalan mulia untuk berlatih menjaga pandangan. Kadang, kebijaksanaan bisa sekarbit itu. Duh!

Waktu terus berjalan, hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Tunggu punya tunggu, tibalah giliran saya. Dan ternyata, mobil yang saya tumpangi adalah mobil yang sedari tadi parkir pas di depan loket. Di dalamnya hanya ada satu orang di bangku depan. Di sini saya kembali teringat satu hal yang pernah saya katakan kepada teman-teman dulu: "Jangan berjanji kepada tukang jahit, dan jangan terlalu mudah percaya dengan orang-orang di terminal".

image

Saya bersyukur, alam yang sejuk cukup membantu pikiran dan hati dengan kontrol nan baik untuk tidak marah dan mensumpah-serapahi. Lagi-lagi, terminal, bagi orang yang konon dikecewakan menjadi tempat belajar perihal bagaimana berbesar hati. Ada satu hal yang kerap kita lupakan saat menjadi penumpang, kita kerap menuntut di-spesialkan atas nama hak dan bayaran.

Di saat yang sama, kita lupa untuk menyisakan ruang pikir bagaimana memahami mereka yang menggantungkan hidup di sana. Yang kita tahu, hak pribadi. Yang kita paham, tujuan diri. Tidak sekalipun mau belajar bahwa di terminal mereka kerja kolektif. Mobilnya punya orang lain, loket dikelola pihak tak sama, belum lagi ceceran uang 50.000 ribu yang di sana direcehkan sedemikian rupa; untuk harlan, kernet, loket juga toke.

Kami berangkat bersamaan azan zuhur berkumandang. Di dalam mobil hanya ada ada 3 penumpang plus seorang sopir. Mulanya mobil melaju kencang, sayangnya tepat di Lambaro mobil kami kembali berhenti. Hasrat sejujurnya ingin terus berjalan, hanya saja keadaan melihat sepinya penumpang membuat saya tetap berusaha memaklumi dengan segenap pikiran positif yang coba saya kerahkan. Kekhawatiran saya akan berhenti lama, syukurnya, mobil kami hanya berhenti sekejap. Apa yang hendak ditunggu, tak tampak pula calon penumpang. Barangkali faktor hari Senin, turut mengambil andil.

image

Saya takjub, sekalipun hanya 3 penumpang, Abang sopir tetap menekan pedal gas secara proporsional. Maksudnya tidak melambatkan laju hanya karena penumpang sepi. Dan sudah barang pasti, bukan L-300 kalau larinya pelan (banget). Sepanjang perjalanan, musik yang dihidupkan awalnya hanya dua saja; Bergek dan Lagu Malaysia. Saya berharap dalam hati kiranya ada lagi lain. Setengah perjalanan, seakan doa terijabah. Ada lagu lain yang diputar, dan saudara lagu dari grup bang apa? Radja! Itu loh, yang vokalisnya pakek kacamata hitam selalu; Ian Kasela. Oh God!

Di atas segalanya, ada satu hal yang menyesakkan dada. Saya mendapati satu fakta yang berulang; kelangkaan bahan bakar Solar. Sampai-sampai sopir kami mengisi dua kali Solar eceran. Satu kali di Saree, sekali lagi di daerah Samalanga. Kelangkaan Solar bukan kali pertama saya dapati selama naik L-300. Di waktu yang agak lampau, kenyataan tersebut sudah pernah terjadi. Bayangkan, sopir harus mengisi 2 kali eceran, tadi pertama ia mengisi sekitar 70 ribu, di kali kedua mengisi kembali 30 ribu.

Sebagai masyarakat, saya berharap kiranya kelangkaan Solar dapat segera teratasi. Amin

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63877.55
ETH 3143.56
USDT 1.00
SBD 3.97