Petualanganku Untuk Bunda

in #story6 years ago

Rimbun hutan yang kulewati bagai coba sembunyikan terang untuk para penghuni kegelapan. Suara gemeresik dedaunan iringi langkahku dengan berpuluh tatapan nanar dari balik semak-semak. Gentar dan takut itu sudah pasti, tapi beban amanat darinya yang kusayang terus membetot keluar keberanian yang tersembunyi dalam sanubari.

Terus terngiang pintanya yang kini terbaring sakit, "Ambilkan obat penyembuh derita di Goa Cawan Ular". Berbekal keping terakhir dari pundi simpanan keluarga, sebagai persembahan penebus obat untuknya yang tersayang, Bundaku.

kawasan-hutan-angker-di-indonesia-yang-konon-merupakan-tempat-angker-yang-ditakuti-karena-cerita-hantu-dan-misterinya.jpg

Sumber

Gumpalan kabut tebal yang tiba-tiba datang menyergap, seketika menyadarkanku dari kebodohan. Aku sudah salah mengambil jalan, hingga tersesat sampai ke dalam hutan kekuasaan si nenek sihir.

"Hei! kemari kau bocah!" ucap suara ringkih yang menggema.

Tubuhku kaku bagai batu saat mendengar suara menyeramkan tersebut. Akan tetapi, leherku seperti dipaksa menoleh hingga mata ini menangkap sosok wanita tua dengan hidung panjang yang besar, bergerak naik-turun, mengendus udara amis disekitarnya.

Kebas tanpa tenaga, kakiku bagai terpancang ke dalam tanah. Sedikitpun tidak dapat menggerakannya untuk kabur dari sosok si nenek sihir yang perlahan semakin mendekat.

"Mau kemana kau Bocah? Uwehehehe ...." Dia tertawa lebar hingga menampakan barisan gigi kuning menjijikan.

"Aku..saya .. anu .. itu, mau ...." Tergagap aku tak mampu menjawabnya.

Nenek sihir itu menatap lekat ke arah kantung celana yang menonjol, tempat aku menaruh keping terakhir titipan bunda.

"Apa yang ada dikantungmu itu Bocah?" tanya si nenek sihir dengan mata yang berbinar.

"In..ini hanya roti bekal perjalanan," kataku dengan suara serak menahan takut.

"Kau bohong! aku tidak percaya! Cepat tunjukan kepadaku!!" bentak si nenek sihir sambil menggeram marah.

images(127).jpg

Sumber

Nyaliku ciut mendengar amuk murka nenek sihir tersebut. Aku semakin gentar saat menyadari kalau tangannya mulai bergerak. Dalam suasana mencekam tersebut, sebuah nada lembut bermain dalam ingatan, pesan bunda tersayang yang setia menjagaku.

Aku berjalan mundur untuk menjauh dan sengaja menjatuhkan diri. Penyihir itu kegirangan menghampiri, hingga tak perlu waktu lama sampai ia menunduk lalu mencengkram erat pundakku.

Lamat-lamat aku mengambil sebutir kerikil saat dia tengah tertawa girang menikmati kemenangan semunya.

"Mis-boo-nu-wat!" kataku sambil melempar kerikil dalam genggaman.

"Aaarrrggghhh ... terkutuk kau Bocah sialan!!!" Nenek sihir itu berteriak kesakitan sambil memegangi mukanya yang melepuh terkena lemparan krikil, lalu pergi menjauh dan menghilang ke dalam selimut kabut.

Dengan perasaan lega yang menyeruak hangat, aku kembali berjalan memenuhi janji kepada bunda tersayang.

Banyak rintangan menghadang aku temui, dari hampir menjadi korban keganasan bebek berkaki bundar yang seenaknya menerobos jalan, godaan setan dengan dawai cadasnya, hingga harus beberapa kali menyebrangi sungai dua aliran yang dipadati oleh lalu lalang makhluk penderu.

Semua itu bisa kulewati hanya dengan bermodal tekad di hati yang menopang kesabaranku menunggu terbitnya mentari merah dan menidurkan para makhluk penderu.

Goa putih dengan tonjolan ular melilit cawan kini terpampang jelas di hadapan. Senyumku merekah lebar, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi aku bisa mendapatkan obat penyembuh bunda.

images(128).jpg

Sumber

Sial, ternyata masih ada rintangan di depanku. barisan hantu penunggu telah berjajar rapih dan bergerak lambat hingga ke muka. Aku mengendap-endap dan ikut mengantri di belakang makhluk berbentuk gumpalan gas menutupi kepala manusia tersebut, berusaha tidak bersuara karena mereka sangat membenci kegaduhan yang dapat membangunkan inang tempat dia menempel.

Kembali tekadku diuji oleh kelelahan yang datang mendera. Deretan batu pipih di dinding goa seakan merayu nakal agar aku duduk bersandar menghilangkan lelah, meninggalkan antrian.

Setelah perjuangan yang terasa lama, akhirnya aku sampai di depan altar putih tempat seekor siluman ular berdiri tegak menanti pengunjung yang datang.

images(129).jpg
Sumber

"Apass yansshh ssskau ingisss-kan? ssshhh...," katanya dengan suara mendesis.

"Tolong berikan obat untuk penyembuh sakit bundaku." Bibirku bergetar saat mengucap kata.

Pupil mata siluman itu membesar lalu menjulurkan lehernya yang panjang hingga muka dia tepat berada di depanku.

"Ssshhh ... ssoo-bbsss-ssshhh," desis siluman tersebut.

Dia kemudian pergi menuju rak dengan berbagai macam botol berisi ramuan obat beraneka warna. Tak perlu waktu lama sampai tangan kurus bersisiknya meraih sebuah botol berisi cairan berwarna hitam pekat.

"Pertukaransshh ...." Tangannya melambai, meminta pundi uang yang aku bawa.

Tanganku tidak bisa berhenti bergetar saat memberikan kantung uang yang kugenggam.

Grep!

Kantung uang beserta tanganku digenggam erat oleh telapak besarnya.

Terasa sisik kasar berpadu cairan lengket menjijikan menggerayangi dan memijat-mijat dengan irama teratur, sebelum akhirnya aku menarik tangan dengan satu hentakan kuat, meninggalkan kantung uang dalam genggamannya.

Dia kembali menatap tajam sambil mendesis, menggerakan tangannya yang memegang botol ramuan lalu terdiam sebelum tanganku sempat meraihnya.

"Ssshhheerima kasshhiisshh ...," ucap siluman itu. Mencoba bersikap ramah, yang malah membuatku jadi merinding.

Aku mengambil botol ramuan dari tangannya dan langsung pergi keluar goa dengan langkah cepat hingga membuat sebagian inang hantu penunggu hampir saja terbangun.

Aku terdiam bersandarkan dinding gua sambil sesekali menoleh ke arah pintu masuk. Masih terasa geliat sisik kasar berbalut cairan kental menjijikan dari rabaan siluman tersebut, walau aku sudah mengelapnya berulang kali di permukaan kasar dinding goa.

Tanpa aku sadari, pundakku ditepuk oleh seseorang.

Langit terasa runtuh saat mengetahui kalau kini siluman itu sudah berada di dekatku.

Aku diam tanpa kata mendengarkan ucapannya yang mendesis tanpa henti, hingga akhirnya ia tutup dengan sebuah tanya penuh ancaman.

"Apasshh kausshh ... punyasshh ... panggilasshh angkasshh ...?"

"Aku ... Anu, punyaku rusak." Nyaliku langsung ciut melihat tatapan kesal si siluman ular tersebut.

Lehernya memanjang dan mulutnya mulai terbuka, menunjukan taring besar yang ia miliki, coba mengintimidasi untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Ssshhheerraahhkkaann!" Paksanya, dengan tangan yang tanpa kusadari sudah mencengkram erat pundakku.

Dari mulutnya yang terbuka lebar, aku dapat merasakan hembusan nafas binatang liar bercampur udara asam bagai membakar perlahan kulit wajahku.

Mungkin ini adalah akhir perjalanan, karena tidak ada lagi yang dapat aku lakukan, hanya berharap Tuhan memberikan pertolongan agar obat ini sampai kepada bunda di sana.

images(130).jpg

Sumber

Amberegul
Ameseyu
Bahrelway bahrelway
Lekiksauwn yu tekrewai
Bahrelway bahrelway
Sumudaun awungot
I am titanigo

Sialan, kenapa di saat seperti ini ponselku berbunyi. Lagu Amberegul yang aku rekam bersama teman-teman, terdengar seperti harmoni kematian bagiku.

"Nah, itu ada. Bohong ya sama akyu," ucap si siluman ular.

"Ini, nnnnggg ... HP teman saya. Y..ya..ya udah saya permisi dulu Mas, eh ... Mbak." Aku langsung pergi dengan langkah terburu-buru menyebrangi jalan raya, meninggalkan siluman itu yang memandang kesal diriku.

"Kemana sih kamu? kok lama banget? Main dulu di rumahnya si Wawan?" ujar bunda dengan suara serak.

"Enggak Bu, si Wawan emang tadi ngajak main gitar, tapi aku tolak dan langsung pergi ke apotik," jawabku sambil sesekali menoleh kebelakang untuk memastikan wanita jadi-jadian itu tidak mengejar.

"Terus kenapa kamu lama beli obatnya?"

"Antriannya panjang, Bu. Udah gitu tangan aku diraba-raba sama apotekernya pas mau ngebayar." Aku langsung bergidik mengingat peristiwa tadi.

"Hah? cantik gak? masih muda?" tanya bunda, dari seberang telepon.

"Cantik? dia itu perempuan jadi-jadian, Bu. Ibu mau punya menantu terong-terongan?" Ibu tertawa lepas dan sesekali terbatuk mendengar ceritaku. Walau mendongkol, ada perasaan bahagia saat mendengar tawa renyah wanita mulia tersebut.

"Hahahaha ... udah lah, cepet pulang sekarang. Batuk ibu semakin parah nih. Si nenek sihir itu juga tadi dateng nagih kontrakan lagi, udah tahu ini akhir bulan, bapak kamu kan belum gajian."

"Iya Bu, tapi nanti buatin nasi goreng ya. Lapar nih, belum makan dari tadi." Pembicaraan berakhir saat bunda mengiyakan permintaanku.

Misiku membeli ramuan penyembuh bunda sudah terlaksana. Tinggal membawa obat ini sampai ke rumah dan bisa segera menyembuhkan penyakitnya.

Ini petualanganku, mana petualanganmu?

Re-Kun
Lampung, 03-10-14

IMG_20180529_040506.jpg

Note: Cerita ini pernah saya posting di grup FB, KBM, pada tahun 2014.

Sort:  

Panjaaaaaaaaaaaaang bngt... Bacanya pe ngantuk.....

Kepanjangan ya...

Congratulations You Got Upvote
& Your Content Also Will Got Curation From

  • Community Coalition
IndonesiaPhillipines
@sevenfingers@steemph.antipolo
ArabTurkey
@arabsteem@tryardim

You received an upvote as your post was selected by the Community Support Coalition, courtesy of @sevenfingers

@arabsteem @sevenfingers @steemph.antipolo

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 60787.40
ETH 2994.79
USDT 1.00
SBD 3.82