[My Story #6]: HP dan GAM

in #story6 years ago

image
Hp dan Kopi

Tuan dan Puan Steemians...

Dulu, sewaktu masih kuliah di IAIN, saya tinggal (menetap), bukan ketinggalan - di Lr. Jati Dusun Barat, Kopelma Darussalam. Pada tahun 1998, ayah saya membeli sebuah rumah kecil di lorong itu sebagai tempat tinggal untuk saya, agar saya tidak malas kuliah. Rumah itu masih ada sampai sekarang, disewakan untuk mahasiswa.

Karena itu rumah saya, maka saya pula yang menjadi kepala keluarga. Saya hanya memakai satu kamar, lima kamar lagi kami sewakan untuk kawan-kawan.

Karena cerita hampir melenceng, maka harus segera saya kembalikan ke "jalan yang lurus," agar tidak terus membelok.

Saya ingin mengenang saat-saat pertama kali punya HP. Waktu itu, sekira tahun 1999, seingat saya, belum ramai yang memiliki Hp. Benda ini masih tergolong sangat elit, khususnya bagi kami mahasiswa.

Di sebalik itu, kepemilikan terhadap Hp pun masih terbilang rawan. Ada anggapan bahwa Hp "identik" dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Kondisi inilah yang menyebabkan ayah tidak mau membelikan Hp untuk saya. Beliau sendiri juga tidak memakai Hp dan sudah merasa cukup dengan telepon rumah. Kalau ingin menghubungi keluarga, biasanya saya menggunakan jasa Wartel di Darussalam.

image
Ilustrasi. @muhajir.juli dan HP

Beberapa kali ayah saya memperingatkan agar kawan-kawan yang ngekos di rumah tidak menggunakan Hp. "Jangan sampai gara-gara Hp dituduh terlibat GAM," kata ayah saya.

Tapi karena kami masih berstatus sebagai "anak muda," amaran tersebut tidak berjalan maksimal. Salah seorang kawan sukses membeli Hp secara diam-diam. Saya tidak bisa melarang, bahkan justru iri, sebab dia punya hp, saya tidak.

Sampailah suatu waktu, ada informasi di Peunayong sedang berlangsung penjualan kartu Hp murah, kartu Simpati. Saya berpikir, sebelum punya Hp, saya harus punya kartunya dulu.

image
@bahagia-arbi dan @apayek pamer HP

Waktu itu, kartu Simpati dijual 150 ribu. Si penjual membuat persyaratan bahwa pembeli yang ingin memiliki kartu harus membawa serta Hp. Sementara saya belum punya Hp. Akhirnya kami bertiga berangkat ke Peunayong dengan *Labi-labi. Kami hanya membawa satu hp.

Sampai di sana kami membuat siasat. Kawan saya yang punya Hp juga ingin membeli kartu Simpati, sebab selama ini dia hanya punya Hp, tapi tidak punya kartu.

Kami pun mengantre. Si pemilik Hp berada di bagian depan, saya di tengah dan kawan satu lagi paling belakang. Posisi kami diselangi oleh beberapa pembeli lain, tidak berurutan. Kami buat siasat ini agar si penjual "terkecoh," sehingga dia tidak tahu bahwa kami hanya ada satu Hp. Akhirnya, setelah mengantre beberapa jam, kami bertiga pun sukses memiliki kartu Simpati.

Kami pulang ke Darussalam, menunjukkan kartu Simpati kepada kawan-kawan. Ini adalah kebanggan tersendiri, karena kartu Simpati juga masih lumayan langka saat itu.

Karena saya tidak punya Hp, kartu Simpati tadi saya jual kepada seseorang dengan harga 250 ribu. Dia malas mengantre. Akibat kemalasannya, saya dapat keuntungan 100 ribu.

Saya baru memiliki Hp beberapa bulan kemudian, setelah saya menghemat uang jajan. Pada saat ayah berkunjung ke Darussalam, Hp itu selalu saya sembunyikan.

Tempat tinggal kami juga beberapa kali dikunjungi aparat keamanan untuk mencari GAM. Seperti kata ayah saya, Hp memang sering menjadi masalah. Kami dicurigai sebagai GAM, atau minimal sebagai pendukung GAM.

Kami harus berusaha memberikan penjelasan panjang lebar kepada para aparat bahwa kami bukan GAM, kami hanya mahasiswa. Kami tidak kenal GAM. Akhirnya mereka percaya karena kami punya Kartu Mahasiswa.

Padahal, hampir setiap hari GAM singgah di rumah kami. Dan hampir setiap hari pula senjata GAM "beristirahat" di rumah kami. Tapi, alhamdulillah, aparat berhasil kami "kecohkan" dengan sedikit "opera mini." Bahkan, ayah saya juga tidak pernah tahu, bahwa rumah yang dibelinya itu sering disinggahi tentara GAM.

image
@rismanrachman dan HP

Akhirnya apa?

Ini hanya sebuah kenangan belaka. Begitu sulitnya memiliki Hp saat itu. Selain dianggap barang "mewah," benda itu juga terkadang membawa petaka.

Berbeda dengan kondisi hari ini. Anak kecil saja, atau "children red" kalau menggunakan istilah Prof Farid Wajdi (Rektor UIN Ar-Raniry), sudah mengenal Android semasa ia masih "menyusui."

Dengan Android itu "insan teknologi" saat ini berselancar bebas, sebebas-bebasnya. Mereka menemukan segalanya di sana. Mereka juga menyerap dan menelan mentah-mentah apa saja yang melintas di layar Android. Berbeda dengan kita dulu.

Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali...

image

Sort:  

Sebuah sorotan tajam dari seorang @tinmiswary seputar hp dan GAM layak jadi renungan

Kisah yang luar biasa, saya teringat betapa bahagianya memiliki hp tit Tut ( poliponik) waktu itu, malah nadanya begitu indah di telinga pada waktu itu....

Beutoi, nyan kabeh gawat masanyan

Kisah yang sangat menarik... hebat masa kita ada wartel dan TU (telpon umum). Koin diikat pakai benang kemudian dimasukkan ke lobang dan secepat itu juga ditarik dan akhirnya kita bisa nelpon tanpa koin.

Seandainya Bitcoin sudah ada masa itu. Habis, haha

Hahah pasti jd agen

Masa wartel saya menjalaninya dulu begitupun dengan telphone rumah sayangnya telphone rumah sudah digantikan perannya oleh hp

Mungkin saya kurang ingat masa itu, karena saya masih kecil. Cerita abang bisa menjadi kenangan buat yang bisa mengenang.

Setiap orang memiliki masa yang mengasyikkan dan menegangkan dalam hidupnya termasuk dalam memiliki hp

Oh, tak apa. Berarti masuk generasi kedua, haha

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 63861.47
ETH 3215.28
USDT 1.00
SBD 3.84