Soal Sudut Pandang (Melatih Objektivitas Dalam Menulis)

in #writing5 years ago

Kehidupan ibarat tasbih yang dibuat dari kumpulan titik-titik yang menyatu membentuk sebuah garis lurus, yang bila disatukan ujung dan akhirnya akan menjadi sebuah lingkaran di mana awal dan akhirnya adalah Allah.

Hidup itu adalah garis lurus yang merupakan lingkaran tanpa sudut. Bagaimana kita mampu menjalaninya dengan kedewasaan dan jiwa besar untuk mampu melihat segala sesuatunya tanpa sudut agar tetap terus berjalan di garis lurus, adalah yang membuatku terus mencoba menjadi lebih baik dan terus lebih baik lagi. Aku ingin terus bertasbih bersamaNya, di jalanNya.


IMG_20190610_012504.jpg

Secangkir gelas berisi kopi ada di depan mata, di atas meja dan masih berisi setengah penuh. Pandangan di hadapanku berubah ketika saya melihatnya bahkan ketika hanya menggeser sedikit posisi saya duduk. Gagang cangkir yang tadinya nampak, tidak lagi nampak. Sementara cangkir itu tetap sama dan posisi yang sama, mengapa pandangan saya berubah?! Apa yang saya tulis pun berubah?!

Ah! Ternyata semua berubah ketika sudut pandang itu berubah juga. Lantas bagaimana dengan secangkir kopi tadi? Dia sedari tadi ada di sana dan melihat sekitarnya dari segala penjuru sehingga dia memiliki pandangan yang lebih luas dari saya. Apa yang akan cangkir kopi itu tuliskan?!

Belum lagi dengan kopi yang ada di cangkir kopi itu. Dia hanya melihat sekelilingnya yang dibatasi dinding cangkir. Kebebasannya hanya pada cahaya dari atas yang membuatnya bisa bernafas lega. Apakah dia bahagia di sana atau dia lebih bahagia saat saya minum?

Oh Tuhan, begitu banyak yang sebenarnya bisa saya tuliskan, bila saya tidak membatasi sudut pandang saya sendiri. Saya harus berani melihat dan merasakannya dari segala sudut pandang.

Dinding yang ada di depan saya pun mungkin akan berteriak jika saya hanya menulis dari satu sudutnya saja. Butuh keseluruhan sudut pandang untuk mengerti dan mengenalnya dengan baik, agar apa yang saya tuliskan pun tidak memiliki batas. Saya harus berani bahkan melihat, menyentuh, bernafas, dan menjilat untuk mengerti apa yang ada di dalam dinding itu. Tidak bisa saya hanya berasumsi bahwa isinya hanyalah semen dan bata, saya harus masuk ke dalam dinding itu meski hanya sebatas imajinasi. Saya harus melihatnya dari semua sudut, atas bawah kiri kanan, depan belakang, dan segala perubahan yang terjadi seiring waktu yang berjalan.

Andai saya benar mengerti, maka saya tak harus pusing lagi mencari. Toh cangkir, kopi, dan dinding itu sebenarnya bicara. Mereka tak akan mau bicara bila saya pun masih terus bersikukuh dalam kesombongan, yang membuat saya hanya hidup dengan persepsi dan asumsi sempit, hanya dipenuhi rasa takut dan takut kemudian.

Jika ada pepatah jangan menilai buku dari sampulnya, dan kita pun dilarang untuk menilai orang dari shalatnya, lantas mengapa saya berani-beraninya menilai dan berkata-kata hanya dari pakaian yang dikenakannya? Apakah saya pun berkenan dinilai hanya dari pakaian yang saya pakai? Siapa yang paling tahu isi hati dan keimanan saya? Siapa yang berhak menilainya?! Tidak ada mampu menilainya selain Allah. Lagipula saya tak perlu membuktikannya pada manusia, cukup Allah yang Maha Mengetahui. Meski saya pura-pura dan manusia tertipu, Allah tetap tahu.

Ampuni saya, ya Allah. Ternyata, saya tidak tahu apa-apa.

Tidak berhak saya pun mengambil kesimpulan dengan sedemikian mudahnya. Nalar saya bisa terbatas, namun kelapangan hati dan jiwalah yang ternyata membuat saya mengerti, bahwa bahkan menulis pun saya harus berani membebaskan diri dari semua sudut. Hanya dengan cara ini, saya mampu terus menulis dan tak kehabisan ide. Merasakan dan mendengar jauh lebih membahagiakan daripada hanya melihat, sebab mata bisa menipu dan tertipu. Allah memberikan semua indera, tentunya dengan maksud baik. Mengapa saya abaikan?!

Saya menuliskan ini semua hanya untuk berbagi, tentang bagaimana saya menulis, berimajinasi, mendapatkan ide, dan sekaligus merdeka dan bahagia karena menulis. Paling tidak saya mencoba untuk membebaskan diri dari kesempitan sudut pandang yang membuat saya rusak dan sombong. Menempatkan semuanya sebagai subjek bukan hanya objek keinginan akan membuat kita lebih objektif dan memperluas wawasan. Biarlah Allah yang menilai, apa yang dinilai olehNya adalah yang benar.

Allah Maha Baik, Adil, Bijaksana. Kebenaran hanya ada padaNya. Semoga kita semua memiliki nyali untuk merdeka karenaNya agar kita pun semua bahagia. Apa yang menjadi garis lurus biarlah tetap lurus, lingkaran yang hendaknya selalu berputar itu hanyalah cara agar kita sanggup untuk tetap lurus.

Semoga berguna dan bermanfaat.

Bandung, 9 Juni 2019

03:54 WIB

Salam hangat selalu,

Mariska Lubis

Sort:  

mencari karya Mba Mariska Lubis di Kompasiana, maka saya tertarik untuk gabung.
https://www.kompasiana.com/jumaroalhamami1731/5cfe26bd3d68d569b3321292/menggapai-asa

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 64513.75
ETH 3146.11
USDT 1.00
SBD 3.95